Jumat, 30 Agustus 2019

Pemenuhan Hak-Hak Dasar, Sikka Bahagia dan Pentingnnya Pemerintahan yang Utuh Yohanes Silik* Fenomena yang terjadi antara dua lembaga demokrasi representasi rakyat Sikka, yakni DPRD dan lembaga eksekutif (Pemerintah Daerah Kabupaten Sikka) belakangan ini amat mencemaskan juga menggemaskan. Bagaimana tidak, konstelasi yang ada sedikit banyak telah menimbulkan "kegaduhan" yang menggelisahkan. Tidak sedikit rakyat Sikka ikut menggelitik. Mereka harap-harap cemas melihat drama politik dan pemerintahan yang terjadi seakan tak kunjung usai. "Bagaimana nanti nasib kami rakyat Sikka jika kondisi (politik dan pemerintahan) nya terus seperti ini?" Demikian kurang lebih sari pati kegelisahan rakyat Sikka. Hal ini tentu menarik untuk ditilik. Dari perspektif ilmu politik dan studi pemerintahan, apa yang terjadi ini merupakan fenomena politik dan pemerintahan lokal. Fenomena ini seringkali terjadi dalam dinamika politik dan pemerintahan lokal di Indonesia. Dengan kalimat lain, gejala politik dan pemerintahan semacam itu lumrah terjadi dan (boleh dibilang) merupakan hal yang wajar. Semua pemerintahan lokal/daerah di Indonesia tentu mengalami hal serupa. Yang berbeda ialah tingkat dinamisitas politik dan pemerintahannya yang mana ini sangat bergantung pada kontek lokal yang ada atau terjadi pada masing-masing pemerintahan daerah seturut konstelasi yang timbul. Sistem politik dan pemerintahan Indonesia yang secara nasional menganut sistem demokrasi dengan mekanisme check and balance antara eksekutif dan parlemen membuat roda pemerintahan akan belangsung sangat dinamis. Dalam kontek lokal pun demikian. Sistem politik dan pemerintahan lokal di Indonesia yang juga menerapkan institusionalisasi demokrasi dengan menekankan pentingnya mekanisme check and balance antara lembaga eksekutif dan lembaga legislatif daerah/lokal sangat memungkinkan terjadinya dinamika politik dan pemerintahan lokal yang bergerak begitu dinamis bahkan konfliktual. Intrik-intrik politik yang ada tentu akan membuat suasana politik dan pemerintahan daerah/lokal berlangsung semakin dinamis (kalau tak mau dibilang runyam/gaduh) dengan berbagai polemiknya. Memang, hampir semua ahli penstudi politik dan fenomena pemerintahan serta pakar hukum tata negara kita (Indonesia) sepakat bahwasannya institusionalisasi demokrasi yang sangat menekankan pentingnya check and balance dalam sistem politik dan pemerintahan Indonesia, baik kontek nasional maupun kontek dinamika politik dan pemerintahan lokal, rentan bagi terjadinya instabilitas politik dan pemerintahan. Gejolak politik antara lembaga legislatif atau parlemen dengan eksekutif ditambah penekanan yang berlebihan terhadap jalannya check and balance bisa berdampak pada kondisi pemerintahan yang tidak kondusif. Dalam studi ilmu politik dan pemerintahan yang secara spesifik mengamati perilaku atau pola relasi yang terbangun antara parlemen/lembaga legislatif dan lembaga eksekutif baik di tingkat nasional maupun lokal/daerah, diketahui bahwa relasi yang terjadi antara kedua lembaga pemerintahan dan politik tersebut seringkali membentuk model/pola relasi yang variatif. Salah satu yang menarik dilihat, yakni pemerintahan yang terbelah atau divided government. Divided government atau pemerintahan yang terbelah adalah sebuah fenomena politik dan pemerintahan yang mana terjadi relasi yang terbelah antara lembaga legislatif dan lembaga eksekutif. Pembelahan ini disebabkan oleh konstelasi/konfigurasi politik yang terjadi antara kedua lembaga rakyat tersebut. Dinamika politik yang terjadi antara kedua lembaga itu bisa saja membuat pemerintahan terbelah dan menimbulkan hal-hal negatif. Bila ini terjadi di kontek lokal/daerah, maka fenomena ini dikenal sebagai pemerintahan lokal yang terbelah atau divided local government. Apa yang terjadi dalam dinamika politik dan pemerintahan antara DPRD dan Bupati Sikka belakangan ini, menurut penulis, sedikit banyak bisa diteropong dalam kontek atau perspektif ini. Pasalnya, apa yang terjadi kurang lebih mengarah ke gejala/fenomena divided local government. Konstelasi politik yang terjadi antara kedua lembaga rakyat Sikka itu sedikit banyak telah menimbulkan "huru-hara" atau "kegaduhan" yang cukup cemas dan menggemaskan. Konfigurasi politik dalam parlemen Sikka juga apa yang menjadi narasi kebijakan Bupati Sikka telah menimbulkan gejolak kontra dalam tubuh pemerintahan lokal Kabupaten tercinta ini. Kedua lembaga ini seperti tak sejalan dan masing-masing (nampaknya) ngotot berada pada standing position-nya. Apa yang telah terjadi sejak awal-awal situasi ini meledak hingga saat ini, sedikit banyak menggejala ke arah pemerintahan yang terbelah. Bersyukur, karena sejauh ini, menurut penulis, konstelasi yang ada belum sampai menimbulkan ekses politik dan pemerintahan yang benar-benar terbelah secara ekstrem. Meski demikian, gejala yang terjadi ini patut untuk dicemaskan karena implikasi negatif yang akan ditimbulkan dari pemerintahan yang terbelah. Pertama dan utama sekali ialah macetnya roda pemerintahan. Salah satu implikasi negatif dari terjadinya pemerintahan yang terbelah yakni roda pemerintahan yang tidak berjalan maksimal. Pemerintahan Sikka menjadi tidak efektif. Tata kelola pemerintahan sedikit banyak akan tersendat. Kedua, mandegnya pembangunan. Agenda-agenda pembangunan apalagi agenda-agenda yang transformatif-populis akan tersandera. Agenda-agenda pembangunan tersebut bisa saja tidak berjalan optimal (bahkan berhenti sebelum dieksekusi). Di titik ini, visi misi Bupati dan Wakilnya yang nota bene merupakan janji politik mereka kepada rakyat Sikka pada saat pilkada akan ikut terpenjara. Ketiga, yang amat penting ialah kepentingan rakyat banyak yang akan ditumbalkan. Sudah pasti, dalam konstruksi sistem politik dan pemerintahan yang memakai institusionslisasi demokrasi, kepentingan rakyat merupakan hal urgen. Jika pemerintahannya terbelah atau tidak maksimal, maka kepentingan rakyatlah yang menjadi korban. Ujung-ujungnya, rakyat nian tana Sikka-lah yang dirugikan. Benar, bukan? Kita tak mau ini terjadi. Bukankah Sikka harus terus melejit maju dengan perubahan-perubahan revolusioner di segala aspek? Bukankah akselerasi pembangunan harus menggeliat signifikan di kabupaten tercinta ini? Bukankah hal-hal negatif yang justru menghambat transformasi Sikka menuju Sikka Bahagia harus disingkirkan? Oleh karena itu, besar harapan realitas yang terjadi bisa terselesaikan (tentu dengan cara-cara politis yang bermartabat dan konstitusional bukan transaksional), agar tidak menimbulkan pemerintahan Sikka yang terus terbelah. Penulis kira, kita segenap rakyat Sikka sepakat bahwa semua hal/berbagai kasus yang merusak pemerintahan ini dan tidak membawa berkat kesejahteraan harus dibongkar. Meski demikian, Pemerintahan yang utuh merupakan hal yang amat penting agar rakyat tak lagi terlantar. Pemerintahan Sikka yang utuh (unified government) antara DPRD dan Pemerintah Sikka tentu sangat penting, karena akan menciptakan stabilitas politik dan pemerintahan yang sangat signifikan bagi optimalisasi pembangunan Sikka menuju Sikka Bahagia lewat pemenuhan hak-hak dasar masyarakat. Bagaimanapun, pembangunan (yang berjalan dengan baik) membutuhkan kondisi politik dan pemerintahan yang sabil. Wakil rakyat yang baru sudah dilantik. Harapan baru selau menggelitik. Tentu saja, kita butuh pemerintahan Sikka yang utuh agar Sikka (benar-benar bisa) Bahagia. Semoga. *Yohanes Silik merupakan warga Maumere kini tinggal di Nangameting, pernah menjalankan studi S1 Ilmu Pemerintahan di salah satu Perguruan Tinggi di Yogyakarta, berminat pada tema-tema diskusi mengenai kebangsaan, sosial, politik dan pemerintahan.