Rabu, 14 Desember 2016

Masa Depan Demokrasi Kita?
(Melihat Kembali Prospek Demokrasi Kita dalam Dunia Yang Berubah)
Oleh Yohanes Silik

"Kita akan melihat, bagaimanapun, bahwa jalan demokratisasi melahirkan pertanyaan mengenai apakah kemajuan demokrasi akan berlanjut dan apakah pengaruh positif dari demokrasi akan timbul? Inilah dilema pokok di sekeliling transisi menuju demokrasi sekarang ini. Pendek kata, kemajuan demokrasi saat ini terjadi dengan cara yang dapat membahayakan kelanjutan dari kemajuan demokrasi" (Georg Sorensen).

   DEMOKRASI bukankah entitas pasti. Oleh karena itu, diskursus tentangnya tidaklah final. Tidak ada konklusi akhir yang dapat memastikan keberlanjutan demokrasi. Guillermo O'Donel menyebutnya tentative conclution about uncertain democracy. Gelombang-gelombang demokrasi yang telah terjadi tidak berarti kemenangan mutlak demokrasi. Bagaimanapun, di tengah dunia yang terus saja berubah, masa depan demokrasi masih menjadi tanda tanya, atau berhasil atau gagal? Saat ini, kita tengah mengahadapi kenyataan yang kurang bagus yakni demokrasi Eropa berada dalam kondisi yang tidak ideal. Ia mengalami apa yang oleh Daniel Kelemen ditulis A Dark Age for European Democracy? Eropa sedang dihantui oleh momok yang tidak jelas identitasnya (Journal of Democracy, October 2016). Anti demokrasi merupakan masalah besar yang mengancam Eropa.
   Tidak mudah memang menganalisis situasi Eropa saat ini. Namun barangkali, situasi-situasi Eropa saat ini bisa dilihat sebagai ancaman berarti terhadap proses dan prospek demokrasi global. Kegagalan-kegagalan yang ada pada akhirnya akan membuat kita meragukan kemampuan demokrasi dalam menciptakan peradaban manusia yang sempurna. Tapi kita tentu sangat berharap bahwa demokrasi benar-benar mampu membuktikan dirinya sebagai kekuatan kemanusiaan yang dapat dipercaya. Visi peradaban mulia yang ia janjikan harus bisa ia buktikan. Jika tidak kita akan menaruh distrust terhadapnya. Oleh karena situasi dan tuntutan zaman yang berbeda maka demokrasi tidak bisa lagi bertahan di atas lagu lama perang dunia. Saya pikir, dukungan terhadapnya harus relevan. 
 
Negosiasi Pada Permulaan Demokrasi: Problem Transisi ke Demokrasi
   Jika tidak ingin terperangkap pada pesimisme atau optimisme akut, maka kita perlu berpikir realistis bahwa hambatan-hambatan selalu muncul untuk menghadang laju pertumbuhan demokrasi. Di sini, analisis akurat mengenai demokrasi menjadi sangat penting, untuk meramal prospek demokrasi kita secara tepat. Namun adalah penting bagi kita bahwa transisi ke demokrasi tidak terjadi di atas kekalahan mutlak otoritarianisme. Pandangan elit mono sentris sangat tidak relevan, sebab pandangan ini tidak dibangun di atas sebuah asumsi yang lengkap mengenai pemerintahan yang otoriter. Kenyataannya, pemerintahan yang otoriter turut terdesentralisasi ke elit-elit lainnya yang berada di belakang sosok utama.
   Otoritarianisme tidak hidup atau dibangun di atas sosok tunggal. Di permukaan, sosok ini merupakan aktor utama, tapi ia tidak pernah sendirian, sebab ada elit-elit lain di balik sosok otoriter. Oleh sebab itu, pada democratic openings, terjadi negosiasi. Elit-elit lain yang berada di balik aktor utama mulai membangun negosiasi dengan aktor-aktor demokrasi. Negosiasi itu tidak lebih dari pada sebuah "jalan selamat" bagi elit-elit lain itu. Di balik negosiasi itu tersimpan hasrat kekuasaan (Bdk. Sorensen, 1993). Maka tidak berlebihan jika kelesuan demokrasi dewasa ini, salah satunya, dapat dilihat sebagai konsekuensi logis dari adanya negosiasi pada permulaan demokrasi itu. Bahkan, kegelisahan akan kebangkitan otoritarianisme sudah bisa diprediksi jika kita benar-benar tidak menganggap sepeleh permulaan demokrasi yang sarat negosiasi.
   Terlepas dari segala macam optimisme kita terhadap prospek demokrasi dan humanisme yang dimilikinya, kita perlu menaruh perhatian serius pada pandangan skeptis Samuel Huntington. Bagi Huntington revolusi gelombang demokrasi global tidak berarti demokrasi telah menang dan tampil sebagai ideologi tunggal dunia. Ini sekaligus membantah tesis akhir sejarah yang dikemukakan oleh Francis Fukuyama. Gelombang-gelombang demokrasi yang telah terjadi tidak berarti kemenangan mutlak demokrasi terhadap otoritarianisme. Kegagalan demokrasi dan bahkan kemunculan kembali otoritarianisme selalu ada di depan. Di samping keberhasilan, ada juga ancaman kegagalan. Bukan tidak mungkin akan ada gelombang-gelombang otoritarianisme sebagi arus balik terhadap gelombang-gelombang demokrasi. Hal ini bisa saja terjadi sebab kita tidak pernah tahu perubahan-perubahan dunia yang akan terjadi ke depan. Meski demikian, skeptisisme Huntington ini perlu untuk dibuktikan.
   Kembali lagi mengenai negosiasi. Adam Przeworski melakukan sebuah analisis aktor. Menurutnya, sebagaimana yang diulas oleh Sorensen, transisi ke demokrasi tidak lepas dari pilihan-pilihan para aktor penting. Titik tolaknya ialah derjat ketidakpastian proses politik dalam demokrasi. Dalam demokrasi, tidak ada satu kelompok pun yang yakin bahwa kepentingannyalah yang akan menang. Bahkan kepentingan kelompok yang paling kuat sekalipun. Dengan demikian, lebih lanjut penjelasan Sorensen, di dalam demokrasi akan terjadi pilihan terhadap reformasi kebijakan yang sengaja dilakukan oleh kelompok yang lemah, untuk menyerang kekuatan dan hak-hak istimewa kelompok dominan. Di sini, akan jelas terlihat bahwa demokrasi dapat memberikan peluang yang cukup besar bagi kelompok lemah atau kecil, untuk mengakses kekuasaan, yang mana hal ini tidak mungkin terjadi di dalam sistem pemerintahan otoriter. Maka pilihan politiknya jatuh kepada demokrasi.
   Namun pertanyaannya ialah mengapa kelompok dominan mau memilih demokrasi? Hal ini tidak lepas dari negosiasi. Di dalam negosiasi itu, kelompok dominan yang mulai terancam oleh kelompok demokrasi mulai melakukan kalkulasi politik yang matang. Setidak-tidaknya, dengan pilihan ke demokrasi itu, mereka (kelompok dominan) melihat bahwa akses mereka ke kekuasaan masih ada. Alasan-alasan kondisional, seperti menjaga keselamatan diri untuk sementara waktu sembari membangun kembali kekuatan-kekuatan politik yang sempat rapuh akibat kekalahan perang, turut mewarnai proses negosiasi itu. Maka dapat disimpulkan bahwa bagi Przeworski transisi ke demokrasi pada permulaannya merupakan sebuah konsensus sementara. Konsensus ini sengaja dilakukan oleh elit-elit otoritarianisme untuk melindungi kepentingan terselubung mereka, sembari memastikan bahwa lembaga-lembaga demokrasi yang disiapkan tidak mengancam kepentingan dasar mereka. Boleh dibilang mereka berlindung di balik demokrasi. Tanpa ragu, ini bisa dikatakan sebagai simulasi demokrasi.
   Jalan negosiasi yang dijelaskan oleh Przewoski ini sejalan dengan pemikiran Dankwart Rustow mengenai tahapan demokrasi dalam konteks proses transisi dan konsolidasi demokrasi (Sorensen, 1993). Setidaknya, keraguan mengenai permulaan demokrasi terutama keruntuhan rezim nondemokratis bisa juga dilihat dari perspektif Rustow. Ada tiga tahapan penting yang Rustow kemukakan yakni tahap persiapan, tahap keputusan dan tahap konsolidasi. Tahap persiapan ditandai oleh adanya perpecahan rezim nondemokratis, tahap keputusan yakni tahap dilakukannya pembangunan tata tertib demokrasi, dan tahap konsolidasi yakni tahap pembangunan dan pembudayaan demokrasi.
   Persoalannya terletak pada tahap persiapan. Bagi Rustow tahap persiapan merupakan tahap perjuangan politik yang panjang dan tidak meyakinkan, sebab bisa jadi perpecahan rezim nondemokratis pada tahap ini terjadi bukan karena tujuan tunggal. Penentangan kelompok terhadap rezim nondemokratis bukan untuk tujuan demokrasi substantif, tapi untuk tujuan-tujuan lainnya. Komposisi kelompok yang ada di balik penentangan terhadap rezim nondemokratis berbeda-beda. Di sinilah bagi saya, pemikiran Rustow memberikan pemahaman kepada kita bahwa sebenarnya transisi ke demokrasi tidak dimulai dengan sebuah proses murni. Transisi itu sendiri ternyata terjadi dalam tujuan yang tidak tunggal dan sarat komposisi kelompok yang berbeda. Dengan demikian cukup nyata bagi kita bahwa permulaan demokrasi ternyata tidak pernah terjadi dalam sebuah agenda demokrasi yang murni dan terkonsepkan secara jelas. Foa dan Mounk (Journal of Democracy, 2016) mengatakan bahwa meskipun kita memiliki kepercayaan diri yang besar terhadap konsolidasi demokrasi, namun sesungguhnya kepercayaan diri kita itu tidak memiliki dasar yang kuat, sebab kita tidak memiliki alasan yang baik untuk itu. Transisi ke demokrasi kita tidak terjadi dalam agenda demokrasi yang jelas.
   Saya pikir, ini cukup menjadi salah satu jawaban yang meyakinkan mengapa demokratisasi selama ini kadang tidak berjalan sesuai harapan. Terlebih jika kita harus berbicara mengenai prospeknya. Maka cukup beralasan juga jika Huntington sendiri masih meragukan keberlanjutan gelombang demokrasi. Bahkan ia mengkhawatirkan kebangkitan otoritarianisme sebagai gelombang balik. Dan saya pikir dalam konteks ini tepat jika dilema demokrasi hadir dan mewarnai kembali seluruh diskusi kita mengenai masa depan demokrasi kita. Dilema ini perlu sekali ditempatkan sebagai otokritik terhadap gerak pembangunan dan bahkan pembudayaan demokrasi selama ini. Akankah semua itu berlanjut?
   Meski demikian, teori negosiasi (saya menyebutnya demikian) yang dikemukakan oleh Przeworski di atas tidak dapat dijadikan sebagai landasan untuk membuat sebuah kesimpulan umum mengenai prospek suram demokrasi kita. Demikian pula mengenai skeptisisme Huntington, sebab bagaimanapun juga, kita perlu sepakat dengan jalan analisis yang dianjurkan oleh Sorensen bahwa perlu ada analisis kewilayahan yang lebih rinci mengenai demokratisasi kita. Hal ini sekaligus menjadi alternatif di tengah skenario pesimistis dan optimistis yang ada. Namun keduanya sengaja disajikan di sini (mungkin) sebagai wakil dari beragam pandangan, yang coba melihat demokrasi secara lebih kritis, tidak dalam optimisme dan juga pesimisme yang overdosis, untuk memantik kita, guna mengkritisi kembali transisi ke demokrasi kita, terutama permulaan demokrasinya. Apakah permulaan ini benar-benar telah terjadi secara murni sekaligus mutlak? Hal ini sekaligus membangun kecurigaan mendalam kita terhadap setiap transisi ke demokrasi yang terjadi di dalam gelombang-gelombang demokrasi global. Kecurigaan terhadap permulaan demokrasi ini merupakan hal yang penting, sebab bagaimanapun juga, permulaan demokrasi merupakan awal yang menentukan bagi perjalanan demokrasi selanjutnya. Hematnya, transisi ke demokrasi sangat ditentukan oleh bagaimana rupa permulaan demokrasinya.

Kemunculan Gelombang Demokrasi: Sebuah Ketidakpastian
   Tentu, ada banyak teori yang dikemukakan untuk mencari jawaban fundamental mengenai pilihan ke demokrasi. Kita dengan bebas dapat menggunakan semua teori itu sebagai landasan untuk menjawab pertanyaan mengapa gelombang demokrasi itu bisa muncul. Salah satunya seperti yang sudah dikemukakan Perzewoski di atas. Selain itu, mungkin kita perlu menyadari pula bahwa pilihan menuju demokrasi tidak lebih dari sebuah alasan keyakinan kita sendiri yakni demokrasi dapat mewujudkan kedamaian dan keadilan (Baechler, 2001). Tentang ini, pemikiran Immanuel Kant sangat mempengaruhi kita. Kant percaya bahwa demokrasi merupakan jalan terbaik menuju perdamaian. Ada tiga syarat yang ia anjurkan. Pertama, eksistensi demokrasi dengan budaya resolusi konflik secara damai. Kedua, adanya ikatan moral bersama sebagai landasan relasi internasional di antara negara-negara demokrasi. Ketiga, kerjasama yang saling menguntungkan di antara sesama negara-negara demokrasi. Namun Kant sadar bahwa demokrasi sebagai jalan perdamaian hanya berlaku untuk sesama negara-negara demokrasi. Terhadap negara-negara nondemokratis, negara-negara demokrasi bersikap intoleran. Namun ini terlalu idealis. Ia tidak memperhatikan kondisi sebenarnya yang terjadi dalam transisi ke demokrasi.
   Secara umum, dapat dikatakan bahwa kemunculan gelombang demokrasi terjadi dalam cara yang sangat kompleks dan berbeda. Di Uni Soviet, misalnya, transisi ke demokrasi ditandai oleh ragam peristiwa yang kompleks. Namun salah satu yang penting ialah transisi ke demokrasi di Uni Soviet tidak lepas dari dilema elit penguasa. Menurut Sorensen dilema elit penguasa ini terjadi, lantaran upaya reformasi sistem yang hendak dilakukan elit penguasa, justru mengancam eksistensi atau posisi kekuasaan mereka sendiri. Namun perlu adanya inisiatif radikal untuk mengatasi problem krisis sosial dan ekonomi yang tidak terkontrol. Elit penguasa tidak punya solusi untuk mengatasi dilema ini. Mereka berusaha menciptakan propaganda bahwa negara berada dalam keadaan baik. Namun propaganda ini berbeda dengan kenyataan. Mereka yang tercerahkan akhirnya terus melakukan perlawanan. Alhasil, rezim otoriter tumbang. Di beberapa negara berkembang, transisi ke demokrasi diawali oleh krisis ekonomi. Krisis ini diikuti oleh kejatuhan rezim otoriter dan selanjutnya muncul gerakan massa yang menuntut reformasi ke demokrasi.
   Meski demikian, kemunculan gelombang demokrasi tidak disebabkan oleh tumbangnya rezim otoritarianisme secara mutlak. Rutenya panjang dan sangat kompleks. Tidak ada kepastian bahwa transisi ini benar-benar terjadi secara murni. Aktor-aktor yang berada di pentas politik pada saat itu pandai membaca situasi dan melakukan apa yang seharusnya mereka lakukan. Selebihnya, mereka mulai menunggu kesempatan. Sorensen menjelaskan bahwa secara retrospeksi kemunculan gelombang demokrasi cenderung berkisar pada agenda yang sudah jelas yakni mengetahui bahwa rezim otoriter akan tumbang, kita mulai mengumpulkan semua hal yang menentang rezim otoriter dan menguntungkan demokrasi. Demikian sebaliknya, jika kondisi mulai berubah ketika kita mengetahui bahwa rezim demokrasi akan tumbang, kita mulai mengumpulkan semua hal yang menentang demokrasi dan menguntungkan rezim otoriter. Penjelasan retrospeksi Sorensen ini cukup menegaskan adanya ketidakpastian tersendiri mengenai kemunculan gelombang demokrasi. Transisi ke demokrasi tidak terjadi di dalam permulaan demokrasi yang jelas. Tidak ada proses yang murni dan mutlak.
   Di sisi lain, sehubungan dengan ketidakpastian dalam kemunculan gelombang demokrasi, perlu juga dilihat problem massa. Problem massa yang saya maksudkan di sini ialah terkait inkonsistensi aksi massa pada permulaan transisi ke demokrasi. Analisis Przewoski dan Rustow serta retrospeksi Sorensen juga meragukan soliditas aksi massa pada awal transisi ke demokrasi. Pertama, dalam analisis Rustow kita melihat adanya komposisi kelompok yang berbeda-beda. Komposisi ini jelas akan mempengaruhi arah perjuangan massa. Aksi massa cenderung terjebak ke dalam gerakan mengambang yang justru menunggangi perjuangan demokrasi mereka. Kedua, inkonsistensi aksi massa yang nyata dalam gerakan yang rapuh, yang oleh Sorensen disebut sebagai gerakan yang cepat mati. Bagi saya Sorensen menyajikan kenyataan gerakan massa yang mengalami disorientasi pada awal transisi ke demokrasi. Jadi, sebenarnya kemunculan gelombang demokrasi rentan akan keruntuhan demokrasi jika selanjutnya konsolidasi demokrasi juga mengalami problem.

Penurunan Demokrasi? Konteks Saat Ini
   Apakah demokrasi menurun? Inilah pertanyaan penting yang akhir-akhir ini diajukan. Pertanyaan ini menjadi penting karena kita akan berhadapan dengan kemungkinan terburuk yakni kebangkitan rezim otoritarian. Pada tahun 2015, sebuah diskusi menarik dibuat dalam rangka merayakan 25 tahun Journal of Democracy. Diskusi ini mengangkat tema Is Democracy in Decline? Ia kurang lebih membahas permasalahan kekinian demokrasi global. Bahwasannya potret demokrasi dunia saat ini tengah mengalami kondisi yang kurang bagus. Elemen-elemen dasar demokrasi seperti hak-hak politik dan kebebasan sipil kian memudar. Dalam Journal of Democracy, Larry Diamond menulis tentang penurunan demokrasi global. Tulisan itu dia beri judul FACING UP TO THE DEMOCRATIC RECESSION. Menurutnya, perkembangan demokrasi akhir-akhir ini tengah mengalami penurunan. Ada pelemahan dalam dimensi hak-hak politik (kompetisi dan partisipasi) dan kebebasan sipil. Di samping itu, terjadi pula penurunan prinsip rule of law.
   Hak-hak politik dan kebebasan sipil merupakan dimensi pokok dalam demokrasi. Tidak terjaminnya kedua hal itu merupakan pertanda buruk bagi proses demokrasi. Selain itu, eksistensi demokrasi tidak bisa terlepas dari rule of law. Masyarakat yang demokratis adalah masyarakat yang memiliki kesadaran konstitusional yang kuat. Dalam kesadaran itu, hukum merupakan hal yang utama. Kemunduran dalam penegakan prinsip rule of law merupakan gejala buruk bagi perkembangan demokrasi. Konsolidasi demokrasi mengalami kendala jika penegakan hukum menjadi sangat lemah. Bagaimanapun demokrasi memerlukan penegakan hukum yang bagus. Konsolidasi demokrasi kita membutuhkan kondisi yang mampu menjamin hak-hak politik dan kebebasan sipil serta rule of law. Jika tidak, masa depan demokrasi kita akan suram.
   Selain itu, Andrea Kendall Taylor dan Merica Frantz dalam artikel mereka How Democracies Fall Apart (Why Populism Is a Pathway to Authocracy) menyoroti persolan populisme sebagai persolan penting dalam konteks krisis demokrasi. Mereka melihat adanya tekanan arus populisme yang kuat. Arus ini bisa menjadi tekanan hebat bagi demokrasi apalagi di tengah tendensi atau gejala kemunduran demokrasi. Secara kontekstual, kemunculan arus populisme ini merupakan bentuk ketidakpercayaan terhadap institusi-institusi politik dalam sistem demokrasi, seperti parlemen yang tidak mampu menjaga stabilitas demokrasi secara konsisten (Foa dan Mounk, Journal of Democracy, 2016). Institusi politik ini mengalami disfungsi. Sistem-sistem politik yang ada tidak berjalan maksimal. Konsolidasi demokrasi melemah, sebab tidak didukung oleh optimalisasi fungsi sistem demokrasi yang ada. Di sisi lain, kita berhadapan pula dengan kenyataan disorientasi partai-partai politik. Banyak dari mereka yang bekerja dalam prinsip komodifikasi. Ini semacam pembusukan demokrasi dari dalam. Institusi-institusi politik di dalam sistem demokrasi mengalami gagal fungsi. Akibatnya, pembangunan demokrasi kurang maksimal. Rakyat kecil termarjinalkan (The Economist, The Populist Explosion: How The Great Recession Transformer American and European Politics dalam J. Kristiadi, KOMPAS, 13/12/2016).
   Yang juga penting dalam kaitannya dengan perubahan dunia ialah kondisi Eropa akhir-akhir ini. Dewasa ini, Eropa tengah berada dalam situasi yang tidak bagus. Kondisi itu ialah aneksasi Rusia di Crimea, destabilisasi di Ukraina, serangan teror, krisis pengungsi, badai ekonomi, Brexit (terkait pasar keuangan Eropa yang belum pulih), munculnya gelombang ekstrem kanan yang mengancam kemapanan partai-partai arus utama di seluruh Eropa (termasuk kampanye gerakan xenofobia) (KOMPAS, 27/11/2016). Kondisi Eropa ini memang dapat mengancam eksistensi demokrasi global. Angela Merkel, Kanselir Jerman, melihat hal yang sama. Menurutnya, demokrasi Eropa berada dalam ancaman. Oleh karena itu, pencalonan kembali dirinya untuk pemilu Jerman tahun depan dipandang sebagai bagian dari misi penyelamatan demokrasi Eropa. Apakah ini tanda-tanda akhir demokrasi? Kondisi Eropa ini cukup menggambarkan dunia yang sudah berubah. Perubahan ini perlu dilihat secara serius. Kelalaian terhadap semua itu hanya akan membahayakan eksistensi demokrasi kita. Konteks dunia yang kompleks dengan segala macam perubahan yang tidak terduga sebelumnya cukup menjadi alasan yang kuat bagi kita untuk selalu berhati-hati dalam melihat prospek demokrasi kita. Siapakah yang bisa memperhitungkan masa depan demokrasi berdasarkan apa yang diamati saat ini? Sebuah paradoks demokrasi tengah dihadapi kita dan kita harus meretas paradoks itu (Baechler, 2001).

Senin, 12 Desember 2016



Rekognisi: Politik Identitas Desa dan Jalan Kembali Membela Desa Menuju Desa Mandiri
Oleh Yohanes Silik

Ada dua pemandangan berbeda tentang desa. Sebelum lahirnya UU Desa Nomor 6 Tahun 2014, desa diposisikan sebagai objek subordinasi sementara sesudah lahirnya UU Desa itu, posisi desa dikembalikan menjadi subjek otentik. Sebagai objek subordinasi, posisi desa berada dalam skenario imposisi. Skenario ini sarat akan kenyataan keterbelengguan desa oleh negara. Negara muncul dengan pendekatan tata negara yang secara sepihak mengintervensi desa dengan empat pola imposisi yakni modernisasi, korporatisasi, teknokrasi, dan birokratisasi. Dengan keempat pola imposisi itu, negara menggilas desa dengan beragam pembangunan yang menempatkan desa sebagai objek pembangunan semata.
Sebagai subjek otentik, posisi desa dikembalikan ke identitas aslinya sebagai desa yang memiliki hak asal-usul yang harus diakui negara. Negara tidak lagi memperlakukan desa sebagai objek pembangunan dalam kerangka subordinasi imposisi, tetapi mengembalikan desa sebagai subjek pembangunan dalam kerangka rekognisi. Karakter relasi antara negara dan desa bukanlah karakter mayor-minor atau superior-inferior dalam bingkai imposisi yang kuat, tetapi karakter rekognisi. Dengan karakter ini, desa diakui negara dan tidak lagi digenggam oleh empat pola imposisi yakni modernisasi, korporatisasi, teknokrasi dan birokratisasi.

Rekognisi: Politik Identitas Desa dan Jalan Kembali Membela Desa
Frase membela desa mengandung pengertian posisi desa yang lemah sehingga perlu dibela. Membela desa berarti mengeluarkan desa dari posisi lemahnya agar desa bisa lebih berdaya. Dengan demikian, membela desa berarti membela dari dan membela untuk. Frase membela desa dapat dimaknai dengan pendekatan politik identitas dalam teori multikulturalisme Will Kymlicka. Dalam teorinya itu, Kymlicka berpendapat bahwa kehidupan sosial yang plural membuat masyarakat terbagi ke dalam identitas-identitas yang beragam. Identitas-identitas yang beragam berbeda secara kuantitatif dan kualitatif. Perbedaan identitas ini menimbulkan interaksi identitas yang tidak seimbang. Identitas mayor atau dominan memperlakukan dirinya sebagai identitas super yang hanya kepadanya identitas kecil (minor) tunduk. Dengan demikian, ada semacam penaklukan identitas. Dalam penaklukan ini, hak-hak fundamental identitas kecil dilanggar oleh identitas besar. Tidak ada keadilan di dalam kondisi ini. Identitas besar cenderung memperlakukan identitas kecil sebagai objek nihil.
Terhadap kondisi ini, identitas minor bangkit bergerak menuntut keadilan. Kesadaran yang kuat akan prinsip kesetaraan di antara semua identitas memunculkan gerakan pengakuan dari identitas kecil. Lahirlah politik identitas sebagai gerakan politik dari kaum minor. Gerakan ini menuntut pengakuan identitas besar atas keberadaan identitas kecil. Keberagaman identitas yang ada, secara hakiki, dimaknai sebagai sebuah kesederajatan identitas yang tidak mengenal adanya dominasi identitas. Politik identitas lahir sebagai gugatan fundamental identitas minor terhadap perlakuan diskriminatif identitas besar. Politik ini tampil sebagai kesadaran eksistensial sekaligus sebagai manifestasi emansipasi yang mendorong terciptanya kehidupan plural yang demokratis. Politik identitas merupakan politik pengakuan yang menuntut adanya jaminan mutlak terhadap hak-hak fundamental identitas kecil. Politik pengakuan ini oleh Husserl disebut sebagai jalan kembali (back to ).
Rekognisi desa dapat dimaknai dalam kerangka perspektif politik identitas multikulturalisme. Pertama, imposisi negara terhadap desa dengan model tata negara telah menampilkan wujud negara sebagai mesin penggilas desa. Mesin ini bekerja dalam kerangka empat model imposisi yakni modernisasi, korporatisasi, teknokrasi dan birokratisasi. Dalam kerangka empat model imposisi itu, negara sukses menaruh desa sebagai identitas kecil yang mudah diperas. Sutoro Eko, misalnya, dalam studinya mengenai pola hubungan negara dengan desa menemukan adanya lima model hubungan negara  dengan desa. Tiga dari kelima pola hubungan itu berciri negatif dengan menempatkan desa sebagai objek negara. Ketiga pola hubungan itu ialah birokratisasi-korporatisasi, hubungan dan strategi politisasi dan hubungan patronase ekonomi politik. Imposisi negara menguat dalam ketiga pola hubungan tersebut sehingga menelurkan desa minor. Muncul model relasi korporatisasi politisasi. Negara tidak merepresentasi dan menegosiasi desa dari bawah ke atas (bottom up). Keadaan ini mengakibatkan gagalnya daya emansipasi desa yang ditandai oleh matinya civil society.
Kedua, perencanaan desa. Perencanaan desa dapat menjadi instrumen ukur untuk melihat sejauh manakah negara mengakui desa. Kenyataan selama ini, terutama sebelum lahirnya UU Desa Nomor 6 Tahun 2014, negara terus menegasi desa dengan menelurkan kebijakan-kebijakan pembangunan yang tidak partisipatoris. Desa ditempatkan sebagai objek pembangunan negara yang didekati dengan pembangunan non village self planning. Perencanaan pembangunan yang dibuat negara tidak memperhatikan hakekat dan sifat otonomi desa yakni rekognisi dan subsidiaritas. Perencanaan pembangunan tidak muncul dari kesadaran akan sifat otonomi desa yakni otonomi dari dalam, otonomi dari bawah, dan hanya sedikit otonomi dari atas. Dengan demikian, perencanaan pembangunan bersifat state centris. Corak emansipasi lokal dalam perencanaan desa menjadi kerdil. Pembangunan-pembangunan yang ada mengingkari keberadaan desa. Perencanaan demikian membuat negara muncul sebagai identitas besar yang mengingkari desa. Model ini sekaligus menjadikan desa sebagai identitas minor yang kehilangan daya emansipasi lokalnya sekaligus mempertegas adanya simulasi desa. Akibatnya, desa menjadi kehilangan manfaatnya.
Ketiga, desa korporatis. Studi Sutoro Eko tentang perubahan politik pemerintah desa menyimpulkan bahwa selama ini desa menjadi arena kontestasi pengaruh antara adat, pemerintah, jaringan kekerabatan, agama, dan organisasi masyarakat sipil. Desa korporatis merupakan manifestasi dari pengaruh pemerintah (negara) terhadap desa dalam konteks kontestasi tersebut. Desa korporatis akan menelurkan model desa administratif. Desa hanya merupakan kepanjangan tangan negara yang melulu berurusan dengan kewajibannya menjalankan aturan dan petunjuk dari atas. Model korporatis ini membuat desa belum mampu tumbuh sebagai institusi publik yang sempurna. Dengan demikian, desa korporatis hanya memposisikan desa sebagai "pembantu" negara di level paling bawah. Dalam model korporatis ini, desa sulit menjadi desa mandiri sebab diperlakukan sebagai identitas kecil yang harus "tunduk" kepada identitas besar yakni negara.
Membela desa merupakan keharusan. Mengapa? Posisi desa sebagai identitas kecil telah menyimpang dari yang seharusnya. Desa dikuasai negara tanpa memperhatikan cara-cara desa yang telah lama hidup. Negara mengintervensi desa dengan menjadikannya sebagai sasaran pembangunan semata. Desa tidak diakui oleh negara sebagai "negara kecil" yang memliki hak asal-usul. Selama ini, negara mendekati desa dengan model imposisi yang kental dengan state centris. Akibatnya, identitas desa terabaikan. Desa tidak lagi hidup dengan otentisitas dirinya tetapi, berada dalam kerangka simulasi korporatis yang dikonstruksi negara secara paksa. Negara muncul sebagai identitas besar yang gagal paham. Negara memaksakan kehendak sentralistiknya kepada desa dan memperlakukan desa sebagai bagian dari skenario komodifikasi. Perilaku negara terhadap desa sarat simbol yang kental dengan pendekatan top down. Emansipasi desa redup dan desa hidup di dalam penjara negara. Mengutip Purwo Santoso, negara tidak memperlakukan desa dalam gagasan saling merangkul (mutual inclusion). Sebaliknya, kondisi minor desa di hadapan negara terjadi dalam gagasan mengingkari.
Rekognisi merupakan jalan "politik identitas" desa. Melalui rekognisi, desa meminta pengakuan negara terhadap identitasnya. Skenario imposisi yang dilancarkan negara dapat dilihat sebagai cara negara membangun pola relasi mayor minor antara negara dengan desa. Rekognisi merupakan "politik identitas" desa sekaligus jalan kembali negara untuk mengakui desa dan memulihkan hubungan mayor minor itu. Sebagai jalan kembali negara, rekognisi merupakan manifestasi pengakuan negara terhadap otentisitas desa. Negara kembali ke desa sebagaimana desa "apa adanya" bukan sebagaimana desa menurut negara. Di sinilah tepatnya kita membela desa. Membela desa berarti membebaskan desa dari kesalahan kategoris negara agar terwujudlah desa otentik. Kesalahan kategoris negara, salah satunya, dapat dilacak lewat paradigma Indonesia Membangun Desa (IMD). Lewat paradigma IMD, Negara menegasi desa dengan tiga pola pembangunan yakni pembangunan yang digerakkan oleh negara, pembangunan yang digerakkan oleh pasar dan pembangunan yang digerakkan oleh masyarakat desa. Ketiga pola pembangunan versi IMD itu ternyata melemahkan desa dan membuat desa menjadi tidak bermanfaat.
Membela desa berarti kembali ke desa yakni negara melihat desa sebagaimana desa menurut identitas aslinya tanpa modernisasi, korporatisasi, teknokrasi, dan birokratisasi yang eksklusif-destruktif. Rekognisi menuntut adanya penghapusan praktik-praktik simulasi desa yang dilakukan negara selama ini. Terjadi evolusi kesadaran lewat perubahan paradigma. Melalui rekognisi, paradigma IMD yang destruktif diubah dengan paradigma Desa Membangun Indonesia (DMI). Dengan paradigma DMI, desa diperkuat sehingga mampu menjadi desa transformatif (menjadi basis kehidupan dan penghidupan). Dengan itu, desa dapat menjadi lebih bertenaga secara sosial, berdaulat secara politik, berdaya secara ekonomi dan bermartabat secara budaya (desa bermanfaat). Inilah rekognisi sebagai politik identitas desa dan jalan kembali membela desa.

Menuju Desa Mandiri
Rekognisi desa di atas, sejatinya, telah membuka jalan menuju desa mandiri. Konsep desa mandiri diambil dari kerangka preskriptif yang dikemukakan oleh Sutoro Eko yakni bertenaga secara sosial, berdaulat secara politik, berdaya secara ekonomi dan bermartabat secara budaya. Dengan demikian, desa mandiri meliputi empat bidang pokok yakni sosial, politik, ekonomi dan budaya. Pertama, bertenaga secara sosial. Ini berkaitan dengan modal sosial. Bertenaga secara sosial berarti desa mampu membangun atau melestarikan modal sosialnya agar dapat menjadi pijakan yang kuat kokoh bagi terwujudnya pembangunan dan demokrasi desa. Modal sosial desa akan menumbuhkembangkan tradisi kewargaan di tingkat desa. Hubungan-hubungan horizontal seperti kepercayaan, toleransi, kerjasama dan solidaritas akan membentuk sebuah komunitas sipil (civil community) yang kuat di desa (desa sipil). Selain modal sosial, bertenaga secara sosial berkaitan pula dengan aspek layanan sosial dasar yang efektif dari pemerintah desa kepada masyarakat desa.
Kedua, berdaulat secara politik. Kondisi ini ditandai oleh adanya demokratisasi desa. Desa menjadi basis demokrasi, partisipasi dan representasi warga. Ciri kuat yang menandai ini ialah munculnya organisasi masyarakat sipil yang memiliki daya. Daya yang dimaksud ialah mampu melampaui lembaga-lembaga kemasyarakatan korporatis, menjadi arena politik warga untuk memperjuangkan hak-hak dan kepentingan warga dan sanggup melakukan kontrol terhadap institusi desa. Dengan demikian, daya ini dapat menghidupkan civil society desa. Ketiga, berdaya secara ekonomi. Secara ekonomi, desa mampu menyediakan sumber-sumber ekonomi. Sumber-sumber ini digerakkan secara mandiri kolektif oleh desa sehingga mampu mewujudkan kesejahteraan masyarakat desa. Kemandirian-kolektifitas ini dapat memangkas akses ekonomi negara yang sering menempatkan desa sebagai objek eksploitasi residu. Keempat, bermartabat secara budaya. Ditandai oleh hidupnya nilai-nilai kearifan lokal sebagai landasan kehidupan bersama. Jadi, menuju desa mandiri berarti memperkuat modal sosial dan mengefektifkan layanan sosial dasar desa, mampu menjadi basis demokrasi yang sejati, menggerakkan sumber-sumber ekonomi desa secara mandiri dan kolektif, dan sanggup menghidupi nilai-nilai kearifan lokal desa. Rekognisi, sejatinya, telah memungkinkan semua ini bisa terwujud. Membela desa, menyelamatkan Indonesia.