Senin, 25 Mei 2020

Badan Permusyawaratan Desa: Mitra-Kritis dalam Pemerintahan Desa? Yohanes Silik, LPDesN


Badan Permusyawaratan Desa (BPD): Mitra-Kritis dalam Pemerintahan Desa?

Yohanes Silik
LPDesN


UU Desa 6/2014 memberikan tiga fungsi pemerintahan desa kepada BPD. Selain fungsi, BPD juga dimandatkan oleh UU Desa untuk melaksanakan beberapa tugas penting. Paradigma yang ada di balik ketiga fungsi dan beberapa tugas pokok BPD dalam pemerintahan desa ini ialah MITRA-KRITIS: BPD merupakan MITRA Pemerintah/Kepala Desa, namun ia (BPD) juga harus KRITIS terhadap Pemerintah/Kepala Desa. 

Bukan tanpa alasan paradigma MITRA-KRITIS ini hadir. Jika kita menoleh ke belakang (sebelum kehadiran UU Desa 6/2014), BPD pernah hadir sebagai parlemen desa yg KRITIS terhadap Pemerintah/Kepala Desa. Pada saat ini, BPD sangat kritis. Tak heran, sering terjadi konflik antara BPD dan Kepala Desa. Pemerintahan Desa berjalan dalam situasi konfliktual (terbelah) yang membuat roda pemerintahan desa tidak berjalan maksimal.

Kondisi seperti ini membuat BPD didesain lagi. Kali ini, BPD dikonstruksi sebagai MITRA Pemerintah/Kepala Desa. Sebagai MITRA, kedua lembaga ini diharapkan mampu menjalin kerja sama dalam ber-pemerintahan desa, sehingga menciptakan kondisi pemerintahan desa yang berjalan efekif. Logika pemerintahan desa yang bisa berjalan EFEKTIF merupakan logika yang melatar belakangi mengapa BPD didorong sebagai MITRA. 

Alih-alih menciptakan pemerintahan desa yang utuh (unified governance) dan berjalan efektif (efective governance), paradigma MITRA justru menghasilkan pemerintahan desa yang kolutif. Kepala Desa dan BPD bermitra dalam melakukan praktik-praktik kolutif di desa. Alhasil, desa bukan menjadi arena masyarakat desa, tapi menjadi panggung elitis-kolutif antara BPD dan Kepala Desa. 

UU Desa 6/2014 dengan ideal mewujudkan DESA BARU (Kuat, Maju, Mandiri, Sejahtera dan Demokratis) hendak memperbaiki lagi hubungan BPD dan Pemerintah/Kepala Desa. Tak ingin terjebak lagi dalam pola-pola lama yang terbukti mencetak: (1) pemerintahan desa yang terbelah-konfliktual dan (2) pemerintahan desa yang elitis-kolutif, UU Desa 6/2014 hendak membangun pola hubungan pemerintahan desa yang lebih stabil, utuh dan efektif. Untuk itu, BPD dibentuk sebagai lembaga MITRA-KRITIS.  Hal ini harus dipraktikan secara seimbang. BPD ber-MITRA, tapi tetap KRITIS. Ia (BPD) KRITIS, namun harus juga tetap membangun KEMITRAAN yang baik bersama Kepala Desa/Pemerintah Desa.

Namun, pola MITRA KRITIS ini pada akhirnya harus berbenturan dengan kondisi riil lapangan yang masih jauh dari ideal. Tak bisa dipungkiri bahwa BPD masih lemah, sehingga pola MITRA-KRITIS masih terasa sulit dijalankan dalam praktik ber-pemerintahan desa. Hal ini membuat penyelenggaraan Pemerintahan Desa menjadi tidak begitu politis/demokratis. Ke depan, jika BPD benar-benar dipandang memiliki peranan penting dalam mewujudkan tata kelola pemerintahan desa yang baik, demokratis dan sejahtera, maka kapasitas BPD sebagai MITRA KRITIS harus benar-benar diperkuat.

Lantas, bagaimana degan BPD kita masing-masing? Apakah ia (BPD) telah menjadi lembaga MITRA-KRITIS dalam Pemerintahan Desa kita?

Jumat, 30 Agustus 2019

Pemenuhan Hak-Hak Dasar, Sikka Bahagia dan Pentingnnya Pemerintahan yang Utuh Yohanes Silik* Fenomena yang terjadi antara dua lembaga demokrasi representasi rakyat Sikka, yakni DPRD dan lembaga eksekutif (Pemerintah Daerah Kabupaten Sikka) belakangan ini amat mencemaskan juga menggemaskan. Bagaimana tidak, konstelasi yang ada sedikit banyak telah menimbulkan "kegaduhan" yang menggelisahkan. Tidak sedikit rakyat Sikka ikut menggelitik. Mereka harap-harap cemas melihat drama politik dan pemerintahan yang terjadi seakan tak kunjung usai. "Bagaimana nanti nasib kami rakyat Sikka jika kondisi (politik dan pemerintahan) nya terus seperti ini?" Demikian kurang lebih sari pati kegelisahan rakyat Sikka. Hal ini tentu menarik untuk ditilik. Dari perspektif ilmu politik dan studi pemerintahan, apa yang terjadi ini merupakan fenomena politik dan pemerintahan lokal. Fenomena ini seringkali terjadi dalam dinamika politik dan pemerintahan lokal di Indonesia. Dengan kalimat lain, gejala politik dan pemerintahan semacam itu lumrah terjadi dan (boleh dibilang) merupakan hal yang wajar. Semua pemerintahan lokal/daerah di Indonesia tentu mengalami hal serupa. Yang berbeda ialah tingkat dinamisitas politik dan pemerintahannya yang mana ini sangat bergantung pada kontek lokal yang ada atau terjadi pada masing-masing pemerintahan daerah seturut konstelasi yang timbul. Sistem politik dan pemerintahan Indonesia yang secara nasional menganut sistem demokrasi dengan mekanisme check and balance antara eksekutif dan parlemen membuat roda pemerintahan akan belangsung sangat dinamis. Dalam kontek lokal pun demikian. Sistem politik dan pemerintahan lokal di Indonesia yang juga menerapkan institusionalisasi demokrasi dengan menekankan pentingnya mekanisme check and balance antara lembaga eksekutif dan lembaga legislatif daerah/lokal sangat memungkinkan terjadinya dinamika politik dan pemerintahan lokal yang bergerak begitu dinamis bahkan konfliktual. Intrik-intrik politik yang ada tentu akan membuat suasana politik dan pemerintahan daerah/lokal berlangsung semakin dinamis (kalau tak mau dibilang runyam/gaduh) dengan berbagai polemiknya. Memang, hampir semua ahli penstudi politik dan fenomena pemerintahan serta pakar hukum tata negara kita (Indonesia) sepakat bahwasannya institusionalisasi demokrasi yang sangat menekankan pentingnya check and balance dalam sistem politik dan pemerintahan Indonesia, baik kontek nasional maupun kontek dinamika politik dan pemerintahan lokal, rentan bagi terjadinya instabilitas politik dan pemerintahan. Gejolak politik antara lembaga legislatif atau parlemen dengan eksekutif ditambah penekanan yang berlebihan terhadap jalannya check and balance bisa berdampak pada kondisi pemerintahan yang tidak kondusif. Dalam studi ilmu politik dan pemerintahan yang secara spesifik mengamati perilaku atau pola relasi yang terbangun antara parlemen/lembaga legislatif dan lembaga eksekutif baik di tingkat nasional maupun lokal/daerah, diketahui bahwa relasi yang terjadi antara kedua lembaga pemerintahan dan politik tersebut seringkali membentuk model/pola relasi yang variatif. Salah satu yang menarik dilihat, yakni pemerintahan yang terbelah atau divided government. Divided government atau pemerintahan yang terbelah adalah sebuah fenomena politik dan pemerintahan yang mana terjadi relasi yang terbelah antara lembaga legislatif dan lembaga eksekutif. Pembelahan ini disebabkan oleh konstelasi/konfigurasi politik yang terjadi antara kedua lembaga rakyat tersebut. Dinamika politik yang terjadi antara kedua lembaga itu bisa saja membuat pemerintahan terbelah dan menimbulkan hal-hal negatif. Bila ini terjadi di kontek lokal/daerah, maka fenomena ini dikenal sebagai pemerintahan lokal yang terbelah atau divided local government. Apa yang terjadi dalam dinamika politik dan pemerintahan antara DPRD dan Bupati Sikka belakangan ini, menurut penulis, sedikit banyak bisa diteropong dalam kontek atau perspektif ini. Pasalnya, apa yang terjadi kurang lebih mengarah ke gejala/fenomena divided local government. Konstelasi politik yang terjadi antara kedua lembaga rakyat Sikka itu sedikit banyak telah menimbulkan "huru-hara" atau "kegaduhan" yang cukup cemas dan menggemaskan. Konfigurasi politik dalam parlemen Sikka juga apa yang menjadi narasi kebijakan Bupati Sikka telah menimbulkan gejolak kontra dalam tubuh pemerintahan lokal Kabupaten tercinta ini. Kedua lembaga ini seperti tak sejalan dan masing-masing (nampaknya) ngotot berada pada standing position-nya. Apa yang telah terjadi sejak awal-awal situasi ini meledak hingga saat ini, sedikit banyak menggejala ke arah pemerintahan yang terbelah. Bersyukur, karena sejauh ini, menurut penulis, konstelasi yang ada belum sampai menimbulkan ekses politik dan pemerintahan yang benar-benar terbelah secara ekstrem. Meski demikian, gejala yang terjadi ini patut untuk dicemaskan karena implikasi negatif yang akan ditimbulkan dari pemerintahan yang terbelah. Pertama dan utama sekali ialah macetnya roda pemerintahan. Salah satu implikasi negatif dari terjadinya pemerintahan yang terbelah yakni roda pemerintahan yang tidak berjalan maksimal. Pemerintahan Sikka menjadi tidak efektif. Tata kelola pemerintahan sedikit banyak akan tersendat. Kedua, mandegnya pembangunan. Agenda-agenda pembangunan apalagi agenda-agenda yang transformatif-populis akan tersandera. Agenda-agenda pembangunan tersebut bisa saja tidak berjalan optimal (bahkan berhenti sebelum dieksekusi). Di titik ini, visi misi Bupati dan Wakilnya yang nota bene merupakan janji politik mereka kepada rakyat Sikka pada saat pilkada akan ikut terpenjara. Ketiga, yang amat penting ialah kepentingan rakyat banyak yang akan ditumbalkan. Sudah pasti, dalam konstruksi sistem politik dan pemerintahan yang memakai institusionslisasi demokrasi, kepentingan rakyat merupakan hal urgen. Jika pemerintahannya terbelah atau tidak maksimal, maka kepentingan rakyatlah yang menjadi korban. Ujung-ujungnya, rakyat nian tana Sikka-lah yang dirugikan. Benar, bukan? Kita tak mau ini terjadi. Bukankah Sikka harus terus melejit maju dengan perubahan-perubahan revolusioner di segala aspek? Bukankah akselerasi pembangunan harus menggeliat signifikan di kabupaten tercinta ini? Bukankah hal-hal negatif yang justru menghambat transformasi Sikka menuju Sikka Bahagia harus disingkirkan? Oleh karena itu, besar harapan realitas yang terjadi bisa terselesaikan (tentu dengan cara-cara politis yang bermartabat dan konstitusional bukan transaksional), agar tidak menimbulkan pemerintahan Sikka yang terus terbelah. Penulis kira, kita segenap rakyat Sikka sepakat bahwa semua hal/berbagai kasus yang merusak pemerintahan ini dan tidak membawa berkat kesejahteraan harus dibongkar. Meski demikian, Pemerintahan yang utuh merupakan hal yang amat penting agar rakyat tak lagi terlantar. Pemerintahan Sikka yang utuh (unified government) antara DPRD dan Pemerintah Sikka tentu sangat penting, karena akan menciptakan stabilitas politik dan pemerintahan yang sangat signifikan bagi optimalisasi pembangunan Sikka menuju Sikka Bahagia lewat pemenuhan hak-hak dasar masyarakat. Bagaimanapun, pembangunan (yang berjalan dengan baik) membutuhkan kondisi politik dan pemerintahan yang sabil. Wakil rakyat yang baru sudah dilantik. Harapan baru selau menggelitik. Tentu saja, kita butuh pemerintahan Sikka yang utuh agar Sikka (benar-benar bisa) Bahagia. Semoga. *Yohanes Silik merupakan warga Maumere kini tinggal di Nangameting, pernah menjalankan studi S1 Ilmu Pemerintahan di salah satu Perguruan Tinggi di Yogyakarta, berminat pada tema-tema diskusi mengenai kebangsaan, sosial, politik dan pemerintahan.

Senin, 05 Maret 2018

The Liberal Democratic Order in Crisis

By Larry Diamond

We are at a tipping point. Around the world, many democracies are hanging by a thread and autocrats are preparing more savage assaults on what remains of freedom.

As two recent reports have made clear, the global recession of freedom and democracy is deepening. The latest “Freedom in the World” report, released last month by Freedom House, warns that electoral integrity, freedom of the press, and rule of law are “under assault and in retreat globally.” 2017 was the 12th consecutive year in which average levels of political rights and civil liberties have trended downward. 71 countries declined in freedom, while only 35 gained; and among those countries with significant changes, 20 sharply declined, only 6 sharply improved. Since 2006, twice as many countries have declined in freedom as have improved.

The annual Democracy Index, released by the Economist Intelligence Unit, notes a similar trend. Of the 165 countries (and two territories) measured, 89 declined in their democracy score, more than three times the number (27) that improved. Virtually every region in the world declined, and since 2006, western Europe has seen almost as much erosion as the east. Globally, the erosion encompasses not only growing curbs on freedom of speech, media, and the Internet, but declines in democratic trust, tolerance, and participation.

While the net numerical decline in democracies has so far been modest, the geopolitical weight of retreat is more alarming. In recent years, democracy has failed in big emerging-market countries, including Turkey, Thailand, Bangladesh, and Kenya. It is under serious pressure from autocratic leaders or parties in the Philippines, Bolivia, and Peru; from religious extremism in Indonesia; and from corruption and criminality in Brazil, Mexico, and South Africa. Most of the countries that experienced uprisings during the Arab Spring—notably Egypt—are now more authoritarian than they were at the time, and even the one successful case of democratic transition, Tunisia, is flailing due to regional insecurity and the resurgence of old authoritarian forces. In Pakistan and Myanmar, the military is ever more obviously in the driver’s seat, presiding in the latter case over large-scale ethnic cleansing of the country’s Rohingya minority.

But the most alarming setbacks are now coming in the once-solid core of liberal democracy, the West. In the postcommunist states of the “new Europe”, a crisis is gathering. Some of the biggest global declines in freedom last year were in Hungary and Poland, which continued their descent from liberal democracy to what Hungarian Prime Minister Viktor Orbán calls “illiberal democracy” but is better termed “postmodern autocracy.” It is an arrangement that leaves the shell of democratic institutions standing but hollows out the pluralist essence—a free press and civil society, an independent judiciary, a fair electoral playing field—that it is nearly impossible to defeat the ruling party through normal politics. By this means—long since perfected in Russia, Venezuela, and Turkey—the ruling party barricades itself in power. After neutering independent institutions and systematically rigging the political system, Orbán’s Fidesz regained its two-thirds majority in parliament in 2014 despite winning only 45 percent of the vote—and a smaller number of votes than in the party’s losing efforts in 2002 and 2006. He seems set to pull off the same trick in elections this April.

Orbán’s right-wing populist assault on liberal norms and institutions has inspired emulation across postcommunist Europe. According to a new report by the Tony Blair Institute, populists have won power in seven Central and East European countries (Hungary, Poland, Slovakia, the Czech Republic, Bulgaria, Bosnia and Serbia); they have joined as junior coalition partners in two more; and they constitute the primary opposition in another three. Between 2000 and 2017, the average populist vote share in the region more than tripled, to 32 percent, and the number of populist parties doubled (to 28).

In “old Europe”, the rise of xenophobic populism has not eviscerated liberal democracy, but it threatens key elements of the liberal order: historic Western commitments to freer movements of people, goods, and services; to social, political and religious tolerance; and even to individual and minority rights. The milestones include the victory for Brexit in the 2016 British referendum; the record 34 percent vote for the anti-immigrant, pro-Russian National Front candidate, Marine LePen, in the 2017 French presidential election; the prominent entry into Austria’s government of the far-right Freedom Party, after it won more than a quarter of the vote; the rapid emergence of the right-wing, populist Alternative for Germany (AfD) as the third largest party in Germany (with one in eight votes); and substantial electoral gains by extreme anti-immigrant parties winning in other very liberal democracies, such as the Netherlands and Sweden.

As Freedom House notes, the biggest jolt to the liberal democratic order came with the election of a populist, polarizing American president, Donald Trump, who has challenged key democratic institutions—the judiciary, the mass media, and the integrity of the electoral process—while denigrating immigrants, racial and religious minorities, international trade and engagement, and American support for civil society and liberal democratic norms abroad. A year into his presidency, Freedom House reported a significant decline in freedom in the U.S., as a result of Trump’s violations of basic norms of transparency and democracy.

Why is the erosion of liberal democracy now suddenly reaching crisis proportions? There is general agreement among analysts such as William Galston, Yascha Mounk, and Steven Levitsky and Daniel Ziblatt on three crucial drivers of populist backlash and normative erosion in the West: economic insecurity, cultural insecurity, and the polarizing effects of social media. In Britain, the U.S. and continental Europe, the strongest electoral constituency for rightwing nativist and illiberal parties has been among groups who feel threatened in their economic and social status by stagnant or falling wages, rising inequality, the closure or migration of factories, a general decay of infrastructure and living standards, and surging immigration and cultural pluralism. Whether the locus is the marginalized and de-industrialized interior of the U.S., Britain, or Germany, the common factor is threat to existing social status, which leaves people feeling that a world that once offered comfort and predictablity is now being torn asunder. In his classic mid-century work, Political Man, Seymour Martin Lipset identified declining middle class groups as a crucial base of support for right-wing extremist movements, in reaction—even revenge—against sweeping social and economic changes, big, impersonal corporations and institutions, and urban, intellectual elites.

The problem has been compounded by historically high levels of immigration, particularly in Europe but also in the United States. The current proportion of immigrants in the United States (about 14 percent) is nearing the record level (14.8 percent) set in 1890; it is three times the level in 1965; and it is projected to rise to 18 percent in 2065. The number of immigrants in the U.S. quadrupled between 1970 and 2013, to over 40 million, and the composition of the immigrant population has changed dramatically, from mainly European in the 1970s to predominantly Latin American and Asian today. Europe, which has less experience with immigration, particularly from outside Europe, has lower levels of foreign-born populations. But the proportions are rising more rapidly (to eleven percent, on average), and as a result these countries are feeling greater cultural stress. For example, while Hungary’s population was less than 6 percent foreign-born in 2016, it experienced the second fastest surge of immigration in Europe. And by 2016, the proportion of immigrants was greater than the U.S. level in Germany, Austria, and Sweden, which also have among the fastest-growing immigrant populations. These new waves of immigration are bringing degrees of cultural and religious diversity that most of these countries have little experience absorbing, especially so rapidly. Thus, they present a ready target for blame attribution.

With economic and social change have come anxieties about national sovereignty. And the three anxieties are deeply intertwined. In Europe, rightwing anti-EU parties condemn a politically distant Brussels bureaucracy for forcing their countries to accept European migrants, Syrian refugees, and open markets, which they blame for the loss of jobs and economic security. The common chord is a deep-seated fear of losing control, security, status, and tradition—of falling, falling into the unknown. Rightwing populist demagogues have brilliantly exploited these fears, as Trump did with his famous characterization of Mexican immigrants: “They’re bringing drugs. They’re bringing crime. They’re rapists.” The common vow of illiberal populists is to roll back globalization and restore “the good old days” of economic security, social order, and (relative) cultural homogeneity—one or another national version of “America first” and “make America great again.”

Stirring this mix of toxic forces has been the rise of Facebook, Twitter, and other social media. In empowering anyone to broadcast anything, social media have further eroded the traditional gatekeeping (and norm-preserving) roles of established media and political party organizations. In the process, they have coarsened the political dialogue, facilitated the easy proliferation of “fake news”, and made it vastly easier for extreme and marginal figures to mobilize followings. By enabling like-minded people to quickly find and engage one another exclusively, they have also heightened social and political polarization. There have been positive effects as well, in leveling the playing field for political mobilization and campaign finance, but social media have fit populist politics like a hand in a glove.

Most devastatingly, social media have lowered the barriers to foreign authoritarian manipulation of democratic politics. And that points to a fourth driver: the resurgence of Russian power and the rise of China as the next global superpower. With different styles and methods, these two powerful autocracies have been penetrating the political systems and cultures of democracies new and old, putting at risk the integrity of elections and information flows, and even endangering some freedom of expression. By hacking into digital information stores, manufacturing fake news, and flooding social media with outrageously polarizing posts, Russia has ruthlessly fanned fear and division. Having succeeded brilliantly in Britain and the United States in 2016, Putin’s troll and bot factories are now targeting the 2018 elections in Mexico and the United States.

As democracies appear ever more dysfunctional, divided, and irresolute, as authoritarian regimes exploit and propagandize these difficulties, and as China expands its economic and political muscle through its Belt and Road Initiative and surge of development “assistance”, global faith in democracy as the best system is eroding. The specter that now haunts the world is something unseen since the 1930s: an authoritarian zeitgeist celebrating the suppression of political and individual freedom as a better way to govern.

A simplistic reading of the social science literature could say the rollback of democracy was to be expected in countries lacking the key conditions for democratic success—a large middle class, highly levels of education, a strong civil society, and a cultural of tolerance and mutual restraint. But many democratic success stories began under difficult circumstances. It is analytically fatuous and morally wrong to write off democratic aspirations anywhere. As India and Botswana have shown, democratic norms and institutions can take hold in poor countries. And they can unravel in rich countries—including, we should not be so arrogant to doubt, our own. Democratic values must be cultivated and renewed in every generation. And they need to defended and promoted across borders.

The most important contribution of Samuel Huntington’s landmark study, The Third Wave, was not to give this name to the democratic expansion of the late twentieth century, but rather to see how indispensable international—and especially American—efforts to foster democracy were to this transformation. In particular, the renewal of American power and resolve under Ronald Reagan, and the expansion of efforts and instruments to support democracy abroad, helped bring about the end of Soviet communism and the rapid spread of freedom. Back then the zeitgeist was all about democracy. Now it is about democratic weakness, apathy, and decay.

We are at a tipping point. Around the world, many democracies are hanging by a thread and autocrats are preparing more savage assaults on what remains of freedom. Two things stand in the way: pressure from below, in civil societies that will not go quietly into the dark authoritarian night, and pressure from outside, particularly from the United States and the European Union. Although doubts about democracy are growing, public opinion polls still show considerable support for democratic and accountable government, not just in Europe and North America but in Africa, Asia and Latin America as well. Democratic parties, mass media, think tanks, and associations need material support and technical assistance. At least as much, they need diplomatic support—clear messages of Western democratic solidarity with people struggling to fight corruption and defend their freedom, and clear warnings of consequences—in terms of economic aid, security assistance, and political support—if rulers trample on democratic constitutions and individual rights. These messages need to come both from our ambassadors on the ground and our highest officials in Washington.

No great power can pin its global engagement on principle alone. But in most countries, we can do and say something on behalf of freedom and the rule of law. And on many fronts, including the troubled transitions in Ukraine and Tunisia, our engagement and pressure could make the difference between success and failure. If we do not renew our global leadership for freedom, and our resolve to assist and defend it where we can—including against Russia’s ongoing cyber assaults—the long decade of democratic recession will give way to an authoritarian rout.

Published on: February 16, 2018
Larry Diamond is Senior Fellow at the Hoover Institution, Stanford University. He coordinates the democracy program of the Center on Democracy, Development, and the Rule of Law (CDDRL) within the Freeman Spogli Institute for International Studies (FSI)

Minggu, 04 Maret 2018

Desa Membangun

Pembangunan Sikka dalam Perspektif Desa Membangun

Yohanes Silik*

Tidak berlebihan jika saya mengatakan bahwa pembangunan nasional kita kini sedang berada dalam era desa membangun. Salah satu isi NAWACITA pemerintah JOKOWI-JK adalah membangun dari pinggiran yakni dari desa. Isi NAWACITA ini telah membuka pintu gerbang pembangunan negara yang secara substansial berupaya mendorong terciptanya sebuah pembangunan Indonesia yang lebih menjawab persoalan-persoalan masyarakat desa. Lewat membangun dari pinggiran atau dari desa, negara hendak mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang berada di desa-desa di seluruh Indonesia, mengingat begitu banyaknya masyarakat Indonesia yang hidup di desa.

Tidak hanya NAWACITA, tapi juga UU Desa 6/2014 secara tegas menyatakan pentingnya pembangunan yang berbasis desa atau desa membangun. Desa membangun dalam UU Desa menghadirkan ideal pembangunan desa yang kuat, maju, mandiri, sejahtera, dan demokratis. Atau yang secara ringkas tercermin dalam platform catur sakti desa yakni bertenaga secara sosial, berdaulat secara politik, berdaya secara ekonomi, dan bermartabat secara budaya.

Substansi UU Desa 6/2014

Ada dua pemandangan berbeda tentang desa. Sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, desa diposisikan sebagai objek subordinasi, sementara sesudah lahirnya UU ini, posisi desa dikembalikan menjadi subjek otentik. Hal ini tidak terlepas dari paradigma baru yang diusung, yakni Desa Membangun Indonesia (DMI). Paradigma ini muncul sebagai kritik atas model deterministik-imposisi negara terhadap desa yang ada di dalam paradigma lama yakni Indonesia Membangun Desa (IMD).

Menurut Sutoro Eko (2013), lewat paradigma IMD, negara menegasi desa dengan tiga pola pembangunan, yakni pembangunan yang digerakkan oleh negara, pembangunan yang digerakkan oleh pasar, dan pembangunan yang digerakkan oleh masyarakat desa. Ketiga pola pembangunan versi IMD itu ternyata telah melemahkan desa dan membuat desa menjadi tidak bermanfaat. Sebaliknya, dengan menggunakan paradigma DMI, desa diperkuat sehingga mampu menjadi desa transformatif, yakni menjadi basis kehidupan dan penghidupan atau desa bermanfaat. Dengan itu, desa dapat menjadi lebih bertenaga secara sosial, berdaulat secara politik, berdaya secara ekonomi, dan bermartabat secara budaya.

Sebagai objek subordinasi, posisi desa berada dalam skenario imposisi. Skenario ini sarat akan kenyataan keterbelengguan desa oleh negara. Negara muncul dengan beragam pendekatan tata negara yang secara sepihak mengintervensi desa dengan empat pola imposisi, yakni modernisasi, korporatisasi, teknokrasi, dan birokratisasi. Dengan keempat pola imposisi itu, negara telah menggilas desa dengan pelbagai program pembangunan desa yang menempatkan desa sebagai objek pembangunan semata, tanpa mau mengakui cara-cara desa yang ada. Hal ini telah mengakibatkan terjadinya relasi timpang antara negara dan desa. Dalam relasi timpang ini, negara bertindak sebagai subjek mayor yang superior, sementara desa diperlakukan sebagai objek minor yang inferior. Cara-cara desa tidak diakui oleh negara, karena negara lebih menggunakan pendekatan instrumental tata negara dari pada pendekatan subjek cara desa.

Sebagai subjek otentik, posisi desa dikembalikan ke identitas aslinya sebagai desa yang memiliki hak asal usul dan hak tradisional dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat (bdk. konsideran Undang-Undang Desa Nomor 6 Tahun 2014 bagian menimbang huruf a). Hak asal usul dan hak tradisional itu harus diakui oleh negara. Negara tidak lagi memperlakukan desa sebagai objek pembangunan dalam kerangka subordinasi imposisi, tapi mengembalikan desa sebagai subjek pembangunan dalam kerangka rekognisi.

Model pembangunan ini bisa dilihat sebagai pembangunan “inklusif” atau juga pembangunan endogen yang ramah terhadap cara-cara desa, tanpa menggunakan pendekatan instrumental tata negara secara berlebihan terhadap desa, seperti yang telah terjadi selama ini dalam model IMD. Semangat dasar inilah yang menjiwai Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa. Bahwasannya desa harus diakui oleh negara, dengan selalu mengutamakan model pembangunan subjek, yakni memperkuat masyarakat desa sebagai subjek pembangunan. Hal ini tercantum dalam Pasal 4 huruf i Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa bahwa salah satu tujuan pengaturan desa ialah “memperkuat masyarakat Desa sebagai subjek pembangunan”. Dengan itu, desa bisa berperan penting dalam mewujudkan cita-cita kemerdekaan Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945. Pada poin ini asas rekognisi atau asas pengakuan desa perlu dipahami.

Sehubungan dengan itu, UU Desa 6/2014 dengan dua asas pokoknya yakni rekognisi dan subsidiaritas sebenarnya sangat menekankan partisipasi masyarakat desa. Substansi pemikiran yang perlu dipahami adalah menjadi desa yang mandiri berarti menjadi desa yang warga masyarakatnya adalah warga masyarakat yang aktif (active citizen). Inisiatif atau prakarsa warga masyarakat desa merupakan hal yang penting. UU ini dibuat sebagai bagian dari usaha untuk memperkuat kapasitas politik warga masyarakat desa sebagai bagian integral dari pembangunan desa. Dalam konteks memperkuat masyarakat desa sebagai subjek pembangunan sebagaimana tercantum dalam Pasal 4 huruf i UU 6/2014, UU ini sangat menekankan partisipasi aktif dari warga masyarakat desa dalam seluruh kegiatan pembangunan desa.

Oleh karena itu, pelibatan warga masyarakat desa menjadi penting, sebab melalui itu warga masyarakat desa bisa menjadi warga masyarakat yang aktif/partisipatif. Pada prinsipnya, UU Desa 6/2014 ingin memberikan ruang pelibatan (civic engagement) bagi warga masyarakat desa dalam seluruh kegiatan pembangunan desa. Hal ini bertujuan agar pembangunan desa benar-benar bisa menjadi pembangunan dari masyarakat desa, oleh masyarakat desa, dan untuk masyarakat desa.

Skenario ini diambil sebagai bagian esensial dari usaha merepolitisasi warga masyarakat desa. Kenyataan negara dalam desa merupakan potret negara lama yang telah mendepolitisasi warga masyarakat desa. Hal ini tidak terlepas dari model pembangunan top down di aras lokal yang sukses menempatkan desa sebagai objek dari pembangunan. Depolitisasi terjadi di sana. Oleh karena itu, memperkuat kembali kapasitas politik warga masyarakat desa merupakan hal yang sangat penting untuk menciptakan sebuah pembangunan partisipatif yang otentik.

Tentu saja, hal ini perlu dipahami dengan baik, sebab peran aktif warga masyarakat desa merupakan hal yang sangat fundamental dalam pembangunan desa. Partisipasi aktif warga masyarakat desa tentu akan melahirkan pembangunan desa yang baik yakni pembangunan desa berbasis kerakyatan menuju desa baru yang lebih sejahtera. Oleh karenanya, prakarsa warga masyarakat desa sangatlah penting. UU 6/2014 Tentang Desa sangat menekankan hal ini.

Pembangunan Sikka Berparadigma Desa Membangun

Substansi UU Desa di atas sudah seharusnya direspon dengan suatu semangat pembagunan yang berbasis desa di level kabupaten atau kota. Artinya, dalam kerangka kontekstual sinergitas, substansi atau mandatori UU Desa mestinya dijawab juga dengan merancang model pembangunan desa yang otentik di tingkat kabupaten atau kota. Hal ini tidak terkecuali dengan Pemerintah Kabupaten Sikka. Pemkab Sikka perlu merespon substansi UU Desa 6/2014 untuk dijabarkan secara riil dan kontekstual dalam konteks pembangunan desa di Kab. Sikka. Dengan kalimat lain, bagaimana seharusnya substansi UU Desa ini diejawantahkan dalam konteks pembangunan di Kab. Sikka, tidak dalam kerangka imposisi-intervensi-instruktif-teknokratis, tapi dalam kerangka rekognisi, subsidiaritas, redistribusi, dan demokratisasi desa.

Sehubungan dengan hal tersebut, ada empat poin pokok yang bisa dijadikan sebagai landasan dalam mengkonstruksi kebijakan pembangunan Sikka berparadigma Desa Membangun. Pertama, dalam merespon mandatori UU Desa, posisi atau peran sentral pemerintah supra desa (kab./kota) adalah meletakkan desa dalam konteks kemandirian desa secara otentik. Supra desa harus benar-benar melihat desa tidak dengan cara pandang dari atas secara top-down, tapi dengan cara pandang orang desa secara bottom-up. Hal ini berlaku juga untuk pembangunan desa di Kab. Sikka. Pembangunan Sikka di Kab. Sikka harus benar-benar berangkat dari pengakuan akan kemandirian desa secara otentik dan bertumpu pada empat bidang kewenangan desa berdasarkan asas rekognisi dan subsidiaritas.

Kedua, berdasarkan prinsip pertama, model pembangunan di Kab. Sikka yang mengarah ke desa, mestinya dirancang dalam suatu skema kebijakan pembangunan yang partisipatif. Forum-forum desa terutama musyawarah desa mestinya menjadi titik sentral yang perlu dikembangkan juga  oleh pemerintah supra desa (dlm hal ini pemkab. Sikka) dalam melakukan  optimalisasi agregasi dan artikulasi kepentingan warga masyarakat desa dalam pembangunan desa. Forum ini mesti terus diberdayakan dan diakui sebagai bagian integral dari demokrasi pembangunan di desa. Sesuai mandatori UU Desa 6/2014, dari forum musyawarah desalah agenda strategis pembangunan desa dibahas dan dijawab secara substansial dan responsif oleh pemerintah di atasnya yakni Pemkab. Sikka.

Ketiga, pembangunan ekonomi desa era UU Desa sangat menekankan pentingnya pemberdayaan dan kemandirian desa. Hal ini karena UU Desa telah menganut perspektif Desa Memandang Ekonomi (DME) untuk menggantikan cara pandang lama yang destruktif yakni Ekonomi Memandang Desa (EMD). Jika EMD menenkan pertumbuhan ekonomi semata, maka DME membalikkan itu yang mana sangat menekankan pentingnya pemberdayaan dan kemandirian desa. Dalam konteks DME itu, pembangunan ekonomi di desa merupakan spirit pembangunan ekonomi desa yang lahir dari gerakan kolektif warga masyarakat desa. Artinya, warga masyarakat desalah yang sesungguhnya menjadi aktor sentral yang menggerakkan roda pembangunan ekonomi mereka sendiri. Model ini merupakan penerjemahan dari mandat UUD 1945 terutama tentang ekonomi kerakyatan. Merancang pembangunan ekonomi untuk desa di Kab. Sikka haruslah berpegang pada prinsip Desa Memandang Ekonomi ini, bukan dengan nalar govermentalistik yang state developmentalistik.

Keempat, pembangunan desa berparadigma desa membangun sangat menekankan pelibatan warga masyarakat desa atau civic engagement. Konsep civic engagement pada intinya menekankan partisipasi aktif atau arena politik-demokrasi warga masyarakat desa dalam pembangunan desa sebagai bagian dari urusan publik mereka. Konsep ini secara mendasar menekankan adanya ruang engagement warga desa dalam panggung pembangunan desa. Dengan demikian, jika pemerintah Kab. hendak melakukan transformasi pembangunan desa di Kab. Sikka, maka hal mendasar ini tidak boleh diabaikan sama sekali. Jika tidak, konstruksi pembangunan tersebut hanya bias kepentingan kabupaten yang tidak berbasis engagement warga masyarakat desa. Jika demikian, substansi UU Desa tidak akan terealisasi dan ideal desa yang kuat, maju, mandiri, sejahtera dan demokratis tidak akan terwujud.

Demikian empat poin pokok yang bisa dijadikan sebagai panduan kerangka pembuatan kebijakan pembangunan di Kab. Sikka berbasis desa. Empat poin tersebut merupakan bagian penting dari substansi mandatori UU Desa 6/2014 berparadigma Desa Membangun, yang memang harus diimplementasikan secara konsisten, konsekuen, dan murni dalam setiap arena agenda kebijakan pemerintah, tidak hanya di tingkat pusat tetapi juga di tingkat daerah (kabupaten dan kota), termasuk di ranah Pemerintah Kabupaten Sikka. Semua ini demi terwujudnya desa-desa di Kab. Sikka yang kuat, maju, mandiri, sejahtera, dan demokratis. Bangun desa, bangun Sikka yang kuat, maju, mandiri, sejahtera dan demokratis. Salam berdesa.

*Pernah belajar di Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa "APMD" Yogyakarta jurusan S1 Ilmu Pemerintahan.

Minggu, 15 Januari 2017

Menanggapi Persoalan Kebangsaan, BEM KBM STPMD "APMD" Selenggarakan Seminar Nasional Hak Asasi Manusia

4 (empat) Poin Pokok:
-- Lemahnya internalisasi Pancasila;
-- Negara absen dan lemah;
-- Perampasan tanah rakyat, redistribusi tanah, reformasi agraria; dan
-- Penetrasi Islam Transnasional dan ancamannya terhadap NKRI.

1 (satu) Pesan Moral

 

YOGYAKARTA, REFLEKSI -- Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Besar Mahasiswa Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa "APMD" (BEM KBM STPMD "APMD") menyelenggarakan Seminar Nasional, Kamis (12/1/2017) pagi.

Dengan menghadirkan Pembicara tunggal, Natalius Pigai, S.I.P selaku Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (KOMNAS HAM RI), Seminar Nasional bertajuk "Degradasi Karakter Bangsa dalam Perspektif KOMNAS HAM Republik Indonesia" menanggapi dua persoalan kebangsaan, yakni masalah degradasi karakter bangsa dan persoalan Hak Asasi Manusia (HAM).

Sehubungan dengan kedua persoalan tersebut, ada beberapa hal penting yang menjadi poin-poin pokok yang dikemukakan oleh Pembicara dalam Seminar Nasional yang bertempat di Ruang M. Soetopo STPMD "APMD" itu.

Lemahnya Internalisasi Pancasila dan Negara Absen
Dalam pembicaraannya, Natalius menegaskan bahwa persoalan degradasi karakter bangsa merupakan salah satu persoalan bangsa yang sangat penting. Karakter bangsa yang terdegradasi berkaitan erat dengan lemahnya internalisasi nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi tunggal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Ada satu nilai mendasar yang ditekankannya mengenai nilai-nilai Pancasila, yakni semangat gotong royong. Menurutnya gotong royong merupakan nilai utama yang terkandung di dalam Pancasila. Nilai ini merupakan ciri utama atau karakter Negara Indonesia. Ia menandaskan bahwa pembangunan Negara Indonesia haruslah berdasarkan karakteristik gotong royong Pancasila. Tujuan pembangunan Indonesia bisa tercapai jika pembangunannya dilaksanakan secara bersama-sama. Terkait hal ini, ia mengatakan bahwa perlu sekali adanya share authority dan share of power.

Sementara itu, terkait persoalan HAM, ia menjelaskan bahwa di abad kemanusiaan ini, persoalan HAM merupakan persoalan kemanusiaan yang sangat mendasar. Abad ini menuntut negara agar senantiasa memberikan perhatian yang sangat serius mengenai persoalan HAM. Diakuinya bahwa selama ini negara belum sepenuhnya hadir guna menyelesaikan berbagai persoalan HAM yang ada. Selain itu, menurutnya, seluruh gerak pembangunan yang dilaksanakan negara hendaknya selalu berlandaskan nilai-nilai kemanusiaan.

Negara Lemah
Terkait tanggung jawab Negara Indonesia mengenai persoalan eks warga Timor Leste yang ada di wilayah perbatasan antara Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan Negara Timor Leste, yang ditanyakan oleh salah satu peserta Seminar, Natalius menerangkan bahwa, sebenarnya, ada begitu banyak problem yang terjadi sehubungan dengan persoalan eks warga Timor Leste. Memang Negara Indonesia belum sepenuhnya mampu menyelesaikan semua problem itu secara maksimal.

Meski demikian, menurutnya, sebagai salah satu wujud tanggung jawab terhadap persoalan warga eks Timor Leste, Negara Indonesia sudah mengalokasikan dana khusus. Dana ini dialokasikan negara untuk mengatasi beberapa persoalan pokok mengenai pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasar eks warga Timor Leste yang ada di sana seperti perumahan, pendidikan, kesehatan dan lain-lain.

Tetapi, oleh karena adanya potensi konflik sosial yang timbul akibat munculnya kesan perlakuan istimewa negara terhadap eks warga Timor Leste, dana khusus itu digabungkan ke dalam APBD Provinsi. "Hanya saja, oleh karena adanya potensi konflik sosial di dalam masyarakat, dana itu digabungkan ke dalam APBD Provinsi oleh Pemerintah Provinsi NTT. Sehingga dana ini menjadi dana yang diperuntukkan bagi semua. Hal ini dilakukan agar tidak ada kesan adanya perlakuan istimewa Negara Indonesia terhadap eks warga Timor Leste yang berpotensi menimbulkan konflik sosial di antara masyarakat di sana oleh karena adanya kecemburuan sosial", jelasnya.

Ia juga mengatakan bahwa salah satu problem eks warga Timor Leste ialah adanya kapitalisasi oleh Pemerintah Daerah setempat. Natalius melihat bahwa persoalan eks warga Timor Leste cenderung dikapitalisasi oleh Pemerintah Daerah setempat guna mendapatkan dana dari Pusat. Dana ini kemudian lebih banyak digunakan untuk kepentingan individu atau sektoral.

Ia mengkritik kelalaian Pemerintah dalam menuntaskan persoalan eks warga Timor Leste yang disebabkan oleh lambatnya penanganan negara. "Persoalan eks warga Timor Leste yang ada di sana juga tidak lepas dari kelalaian Pemerintah di awal-awal ketika status pengungsi mereka terlepas selama persoalan ini terjadi. Seandainya di awal-awal, ketika lepasnya status pengungsi eks warga Timor Leste, Negara Indonesia sudah langsung menangani permasalahan ini secara serius, tentu permasalahan ini tidak akan serumit sekarang".

Baginya problem-problem yang ada di sana terkait warga eks Timor Leste merupakan bukti nyata ketidakmampuan Negara Indonesia dalam menyelesaikan persoalan ini secara tuntas.

Perampasan Tanah Rakyat, Redistribusi Tanah dan Reformasi Agraria
Selain persoalan tanggung jawab negara terhadap eks warga Timor Leste, salah satu Anggota KOMNAS HAM RI periode 2012-2017 ini juga menyoroti masalah tanah. Menurutnya persoalan tanah merupakan persoalan yang sangat penting di Indonesia. Problem utamanya ialah perampasan tanah rakyat oleh negara dan oligarki. Ia mengatakan bahwa sebanyak 80 (delapan puluh) persen tanah di Indonesia dikuasai oleh oligarki. Sisanya dikuasi negara. Hal ini tidak lepas dari adanya praktik mafia tanah.

Nataliuas mengkritik praktik perselingkuhan anatara negara dan oligarki. "Perselingkuhan antara negara dan oligarki telah menyengsarakan rakyat oleh karena tanah-tanah mereka dirampas oleh negara dan oligarki. Negara tidak melindungi tanah-tanah rakyat. Sebaliknya bersama oligarki, negara merampasnya", katanya. "Saat ini saja, ada seorang oknum yang menguasai sekitar 6 (enam) juta hektar tanah di seluruh wilayah Indonesia. 6 (enam) juta hektar tanah yang dikuasai itu sama dengan 10 (sepuluh) kali lipat DKI Jakarta. Ada itu orangnya. Ada faktanya", tegasnya.

Terkait hal itu, KOMNAS HAM RI sudah meminta Negara untuk melakukan kebijakan redistribusi tanah dan reformasi agraria. Bagi KOMNAS HAM RI, kedua kebijakan ini diyakini dapat menyelesaikan persoalan tanah yang merupakan persoalan terbesar di Indonesia. Namun melihat masih adanya praktik mafia tanah yang kuat oleh negara dan oligarki, ia mengatakan bahwa redistribusi tanah dan reformasi agraria masih sulit dilaksanakan secara baik oleh negara.

Penetrasi Islam Transnasional dan Ancamannya Terhadap NKRI
Terakhir, terkait persoalan aktual yang akhir-akhir ini terjadi di Tanah Air, ia menyinggung masalah keamanan dan stabilitas nasional. Baginya, konstelasi internasional yang ada, terutama konflik Timur Tengah, berpotensi mengganggu keamanan dan stabilitas internal negara Indonesia pada saat ini. Hal ini tidak lepas dari adanya penetrasi Islam Transnasional yang hendak menghantam Islam Nusantara.

Mengenai persisnya ancaman penetrasi gelombang Islam Transnasional itu, Natalius menjelaskan bahwa terjadinya konflik di Timur Tengah mengakibatkan adanya gelombang migrasi penduduk-penduduk yang ada di negara-negara itu ke negara-negara lain. Gelombang ini seakan tak terbendung, dan turut ada di dalamnya yakni Islam Transnasional. Di Asia Tenggara, selain Malaysia, Indonesia merupakan salah satu negara yang menjadi target masuknya Islam Transnasional.

Islam Transnasional ini ingin menghancurkan Islam Nusantara yang selama ini dihidupkan oleh NU dan Muhammadiyah. Organisasi ini hendak menyaingi NU dan Muhammadiyah. "Maka jangan heran kalau satu atau dua tahun ke depan, akan ada sebuah organisasi besar yang mampu menandingi NU dan Muhammadiyah, yakni Islam Transnasional", ungkapnya. "Umat-umat di NU dan Muhammadiyah akan berpindah ke Islam Transnasional", lanjutnya.

Terhadap ancaman yang ditimbulkan oleh gelombang Islam Transnasional, Negara Indonesia berusaha mengambil tindakan. Menurutnya tindakan yang diambil negara itu berupa strategi. "Saat ini, Pemerintah sedang menyiapkan pelbagai strategi yang tepat untuk melawan penetrasi Islam Transnasional itu". Tidak dijelaskan mengenai persisnya strategi negara itu. Natalius menegaskan bahwa gelombang ini berpotensi mengancam stabilitas keamanan internal negara dan keutuhan NKRI oleh karena paham radikal yang dibawanya.

Haram Hukumnya: Sebuah Pesan Moral
Di sela-sela pembicaraannya mengenai 4 (empat) poin pokok di atas, terkait maraknya praktik-praktik jahat yang selama ini terjadi dalam pembangunan di Negara Indonesia, Natalius menyampaikan sebuah pesan moral kepada seluruh civitas akademika STPMD "APMD". Ia berpesan: "Haram hukumnya bagi APMD untuk terlibat dalam praktik-praktik jahat dalam pembangunan Indonesia, terutama pembangunan Desa. Haram hukumnya".

Seminar Nasional ini dimoderatori oleh Gaspar S. Krowe, salah satu mahasiswa STPMD "APMD" sekaligus Menteri Luar Negeri BEM KBM STPMD "APMD", dan dihadiri oleh para mahasiswa dari beberapa Perguruan Tinggi di Yogyakarta. Seminar ini ditutup dengan penyerahan cinderamata dari Lembaga STPMD "APMD" dan BEM KBM STPMD "APMD" kepada Natalius Pigai, S.I.P.

Penyerahan cinderamata ini masing-masing diserahkan oleh Ketua STPMD "APMD" dan Presiden Mahasiswa KBM STPMD "APMD". Pada saat penyerahan itu, Presiden Mahasiswa berkata bahwa sekiranya kegiatan ini mampu menjadi inspirasi yang sanggup menghidupkan terus semangat perjuangan mahasiswa dalam membangun NKRI, terutama penegakan HAM di Indonesia. (HANS)