Minggu, 04 Maret 2018

Desa Membangun

Pembangunan Sikka dalam Perspektif Desa Membangun

Yohanes Silik*

Tidak berlebihan jika saya mengatakan bahwa pembangunan nasional kita kini sedang berada dalam era desa membangun. Salah satu isi NAWACITA pemerintah JOKOWI-JK adalah membangun dari pinggiran yakni dari desa. Isi NAWACITA ini telah membuka pintu gerbang pembangunan negara yang secara substansial berupaya mendorong terciptanya sebuah pembangunan Indonesia yang lebih menjawab persoalan-persoalan masyarakat desa. Lewat membangun dari pinggiran atau dari desa, negara hendak mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang berada di desa-desa di seluruh Indonesia, mengingat begitu banyaknya masyarakat Indonesia yang hidup di desa.

Tidak hanya NAWACITA, tapi juga UU Desa 6/2014 secara tegas menyatakan pentingnya pembangunan yang berbasis desa atau desa membangun. Desa membangun dalam UU Desa menghadirkan ideal pembangunan desa yang kuat, maju, mandiri, sejahtera, dan demokratis. Atau yang secara ringkas tercermin dalam platform catur sakti desa yakni bertenaga secara sosial, berdaulat secara politik, berdaya secara ekonomi, dan bermartabat secara budaya.

Substansi UU Desa 6/2014

Ada dua pemandangan berbeda tentang desa. Sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, desa diposisikan sebagai objek subordinasi, sementara sesudah lahirnya UU ini, posisi desa dikembalikan menjadi subjek otentik. Hal ini tidak terlepas dari paradigma baru yang diusung, yakni Desa Membangun Indonesia (DMI). Paradigma ini muncul sebagai kritik atas model deterministik-imposisi negara terhadap desa yang ada di dalam paradigma lama yakni Indonesia Membangun Desa (IMD).

Menurut Sutoro Eko (2013), lewat paradigma IMD, negara menegasi desa dengan tiga pola pembangunan, yakni pembangunan yang digerakkan oleh negara, pembangunan yang digerakkan oleh pasar, dan pembangunan yang digerakkan oleh masyarakat desa. Ketiga pola pembangunan versi IMD itu ternyata telah melemahkan desa dan membuat desa menjadi tidak bermanfaat. Sebaliknya, dengan menggunakan paradigma DMI, desa diperkuat sehingga mampu menjadi desa transformatif, yakni menjadi basis kehidupan dan penghidupan atau desa bermanfaat. Dengan itu, desa dapat menjadi lebih bertenaga secara sosial, berdaulat secara politik, berdaya secara ekonomi, dan bermartabat secara budaya.

Sebagai objek subordinasi, posisi desa berada dalam skenario imposisi. Skenario ini sarat akan kenyataan keterbelengguan desa oleh negara. Negara muncul dengan beragam pendekatan tata negara yang secara sepihak mengintervensi desa dengan empat pola imposisi, yakni modernisasi, korporatisasi, teknokrasi, dan birokratisasi. Dengan keempat pola imposisi itu, negara telah menggilas desa dengan pelbagai program pembangunan desa yang menempatkan desa sebagai objek pembangunan semata, tanpa mau mengakui cara-cara desa yang ada. Hal ini telah mengakibatkan terjadinya relasi timpang antara negara dan desa. Dalam relasi timpang ini, negara bertindak sebagai subjek mayor yang superior, sementara desa diperlakukan sebagai objek minor yang inferior. Cara-cara desa tidak diakui oleh negara, karena negara lebih menggunakan pendekatan instrumental tata negara dari pada pendekatan subjek cara desa.

Sebagai subjek otentik, posisi desa dikembalikan ke identitas aslinya sebagai desa yang memiliki hak asal usul dan hak tradisional dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat (bdk. konsideran Undang-Undang Desa Nomor 6 Tahun 2014 bagian menimbang huruf a). Hak asal usul dan hak tradisional itu harus diakui oleh negara. Negara tidak lagi memperlakukan desa sebagai objek pembangunan dalam kerangka subordinasi imposisi, tapi mengembalikan desa sebagai subjek pembangunan dalam kerangka rekognisi.

Model pembangunan ini bisa dilihat sebagai pembangunan “inklusif” atau juga pembangunan endogen yang ramah terhadap cara-cara desa, tanpa menggunakan pendekatan instrumental tata negara secara berlebihan terhadap desa, seperti yang telah terjadi selama ini dalam model IMD. Semangat dasar inilah yang menjiwai Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa. Bahwasannya desa harus diakui oleh negara, dengan selalu mengutamakan model pembangunan subjek, yakni memperkuat masyarakat desa sebagai subjek pembangunan. Hal ini tercantum dalam Pasal 4 huruf i Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa bahwa salah satu tujuan pengaturan desa ialah “memperkuat masyarakat Desa sebagai subjek pembangunan”. Dengan itu, desa bisa berperan penting dalam mewujudkan cita-cita kemerdekaan Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945. Pada poin ini asas rekognisi atau asas pengakuan desa perlu dipahami.

Sehubungan dengan itu, UU Desa 6/2014 dengan dua asas pokoknya yakni rekognisi dan subsidiaritas sebenarnya sangat menekankan partisipasi masyarakat desa. Substansi pemikiran yang perlu dipahami adalah menjadi desa yang mandiri berarti menjadi desa yang warga masyarakatnya adalah warga masyarakat yang aktif (active citizen). Inisiatif atau prakarsa warga masyarakat desa merupakan hal yang penting. UU ini dibuat sebagai bagian dari usaha untuk memperkuat kapasitas politik warga masyarakat desa sebagai bagian integral dari pembangunan desa. Dalam konteks memperkuat masyarakat desa sebagai subjek pembangunan sebagaimana tercantum dalam Pasal 4 huruf i UU 6/2014, UU ini sangat menekankan partisipasi aktif dari warga masyarakat desa dalam seluruh kegiatan pembangunan desa.

Oleh karena itu, pelibatan warga masyarakat desa menjadi penting, sebab melalui itu warga masyarakat desa bisa menjadi warga masyarakat yang aktif/partisipatif. Pada prinsipnya, UU Desa 6/2014 ingin memberikan ruang pelibatan (civic engagement) bagi warga masyarakat desa dalam seluruh kegiatan pembangunan desa. Hal ini bertujuan agar pembangunan desa benar-benar bisa menjadi pembangunan dari masyarakat desa, oleh masyarakat desa, dan untuk masyarakat desa.

Skenario ini diambil sebagai bagian esensial dari usaha merepolitisasi warga masyarakat desa. Kenyataan negara dalam desa merupakan potret negara lama yang telah mendepolitisasi warga masyarakat desa. Hal ini tidak terlepas dari model pembangunan top down di aras lokal yang sukses menempatkan desa sebagai objek dari pembangunan. Depolitisasi terjadi di sana. Oleh karena itu, memperkuat kembali kapasitas politik warga masyarakat desa merupakan hal yang sangat penting untuk menciptakan sebuah pembangunan partisipatif yang otentik.

Tentu saja, hal ini perlu dipahami dengan baik, sebab peran aktif warga masyarakat desa merupakan hal yang sangat fundamental dalam pembangunan desa. Partisipasi aktif warga masyarakat desa tentu akan melahirkan pembangunan desa yang baik yakni pembangunan desa berbasis kerakyatan menuju desa baru yang lebih sejahtera. Oleh karenanya, prakarsa warga masyarakat desa sangatlah penting. UU 6/2014 Tentang Desa sangat menekankan hal ini.

Pembangunan Sikka Berparadigma Desa Membangun

Substansi UU Desa di atas sudah seharusnya direspon dengan suatu semangat pembagunan yang berbasis desa di level kabupaten atau kota. Artinya, dalam kerangka kontekstual sinergitas, substansi atau mandatori UU Desa mestinya dijawab juga dengan merancang model pembangunan desa yang otentik di tingkat kabupaten atau kota. Hal ini tidak terkecuali dengan Pemerintah Kabupaten Sikka. Pemkab Sikka perlu merespon substansi UU Desa 6/2014 untuk dijabarkan secara riil dan kontekstual dalam konteks pembangunan desa di Kab. Sikka. Dengan kalimat lain, bagaimana seharusnya substansi UU Desa ini diejawantahkan dalam konteks pembangunan di Kab. Sikka, tidak dalam kerangka imposisi-intervensi-instruktif-teknokratis, tapi dalam kerangka rekognisi, subsidiaritas, redistribusi, dan demokratisasi desa.

Sehubungan dengan hal tersebut, ada empat poin pokok yang bisa dijadikan sebagai landasan dalam mengkonstruksi kebijakan pembangunan Sikka berparadigma Desa Membangun. Pertama, dalam merespon mandatori UU Desa, posisi atau peran sentral pemerintah supra desa (kab./kota) adalah meletakkan desa dalam konteks kemandirian desa secara otentik. Supra desa harus benar-benar melihat desa tidak dengan cara pandang dari atas secara top-down, tapi dengan cara pandang orang desa secara bottom-up. Hal ini berlaku juga untuk pembangunan desa di Kab. Sikka. Pembangunan Sikka di Kab. Sikka harus benar-benar berangkat dari pengakuan akan kemandirian desa secara otentik dan bertumpu pada empat bidang kewenangan desa berdasarkan asas rekognisi dan subsidiaritas.

Kedua, berdasarkan prinsip pertama, model pembangunan di Kab. Sikka yang mengarah ke desa, mestinya dirancang dalam suatu skema kebijakan pembangunan yang partisipatif. Forum-forum desa terutama musyawarah desa mestinya menjadi titik sentral yang perlu dikembangkan juga  oleh pemerintah supra desa (dlm hal ini pemkab. Sikka) dalam melakukan  optimalisasi agregasi dan artikulasi kepentingan warga masyarakat desa dalam pembangunan desa. Forum ini mesti terus diberdayakan dan diakui sebagai bagian integral dari demokrasi pembangunan di desa. Sesuai mandatori UU Desa 6/2014, dari forum musyawarah desalah agenda strategis pembangunan desa dibahas dan dijawab secara substansial dan responsif oleh pemerintah di atasnya yakni Pemkab. Sikka.

Ketiga, pembangunan ekonomi desa era UU Desa sangat menekankan pentingnya pemberdayaan dan kemandirian desa. Hal ini karena UU Desa telah menganut perspektif Desa Memandang Ekonomi (DME) untuk menggantikan cara pandang lama yang destruktif yakni Ekonomi Memandang Desa (EMD). Jika EMD menenkan pertumbuhan ekonomi semata, maka DME membalikkan itu yang mana sangat menekankan pentingnya pemberdayaan dan kemandirian desa. Dalam konteks DME itu, pembangunan ekonomi di desa merupakan spirit pembangunan ekonomi desa yang lahir dari gerakan kolektif warga masyarakat desa. Artinya, warga masyarakat desalah yang sesungguhnya menjadi aktor sentral yang menggerakkan roda pembangunan ekonomi mereka sendiri. Model ini merupakan penerjemahan dari mandat UUD 1945 terutama tentang ekonomi kerakyatan. Merancang pembangunan ekonomi untuk desa di Kab. Sikka haruslah berpegang pada prinsip Desa Memandang Ekonomi ini, bukan dengan nalar govermentalistik yang state developmentalistik.

Keempat, pembangunan desa berparadigma desa membangun sangat menekankan pelibatan warga masyarakat desa atau civic engagement. Konsep civic engagement pada intinya menekankan partisipasi aktif atau arena politik-demokrasi warga masyarakat desa dalam pembangunan desa sebagai bagian dari urusan publik mereka. Konsep ini secara mendasar menekankan adanya ruang engagement warga desa dalam panggung pembangunan desa. Dengan demikian, jika pemerintah Kab. hendak melakukan transformasi pembangunan desa di Kab. Sikka, maka hal mendasar ini tidak boleh diabaikan sama sekali. Jika tidak, konstruksi pembangunan tersebut hanya bias kepentingan kabupaten yang tidak berbasis engagement warga masyarakat desa. Jika demikian, substansi UU Desa tidak akan terealisasi dan ideal desa yang kuat, maju, mandiri, sejahtera dan demokratis tidak akan terwujud.

Demikian empat poin pokok yang bisa dijadikan sebagai panduan kerangka pembuatan kebijakan pembangunan di Kab. Sikka berbasis desa. Empat poin tersebut merupakan bagian penting dari substansi mandatori UU Desa 6/2014 berparadigma Desa Membangun, yang memang harus diimplementasikan secara konsisten, konsekuen, dan murni dalam setiap arena agenda kebijakan pemerintah, tidak hanya di tingkat pusat tetapi juga di tingkat daerah (kabupaten dan kota), termasuk di ranah Pemerintah Kabupaten Sikka. Semua ini demi terwujudnya desa-desa di Kab. Sikka yang kuat, maju, mandiri, sejahtera, dan demokratis. Bangun desa, bangun Sikka yang kuat, maju, mandiri, sejahtera dan demokratis. Salam berdesa.

*Pernah belajar di Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa "APMD" Yogyakarta jurusan S1 Ilmu Pemerintahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar