Menanggapi
Persoalan Kebangsaan, BEM KBM STPMD "APMD" Selenggarakan
Seminar Nasional Hak Asasi Manusia
4 (empat)
Poin Pokok:
-- Lemahnya
internalisasi Pancasila;
-- Negara
absen dan lemah;
--
Perampasan tanah rakyat, redistribusi tanah, reformasi agraria; dan
-- Penetrasi
Islam Transnasional dan ancamannya terhadap NKRI.
1 (satu)
Pesan Moral
YOGYAKARTA,
REFLEKSI -- Badan Eksekutif Mahasiswa
Keluarga Besar Mahasiswa Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa
"APMD" (BEM KBM STPMD "APMD") menyelenggarakan
Seminar Nasional, Kamis (12/1/2017) pagi.
Dengan
menghadirkan Pembicara tunggal, Natalius Pigai, S.I.P selaku Anggota
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (KOMNAS HAM RI),
Seminar Nasional bertajuk "Degradasi Karakter Bangsa dalam
Perspektif KOMNAS HAM Republik Indonesia" menanggapi dua
persoalan kebangsaan, yakni masalah degradasi karakter bangsa dan
persoalan Hak Asasi Manusia (HAM).
Sehubungan
dengan kedua persoalan tersebut, ada beberapa hal penting yang
menjadi poin-poin pokok yang dikemukakan oleh Pembicara dalam Seminar
Nasional yang bertempat di Ruang M. Soetopo STPMD "APMD"
itu.
Lemahnya
Internalisasi Pancasila dan Negara Absen
Dalam
pembicaraannya, Natalius menegaskan bahwa persoalan degradasi
karakter bangsa merupakan salah satu persoalan bangsa yang sangat
penting. Karakter bangsa yang terdegradasi berkaitan erat dengan
lemahnya internalisasi nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi tunggal
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Ada satu
nilai mendasar yang ditekankannya mengenai nilai-nilai Pancasila,
yakni semangat gotong royong. Menurutnya gotong royong merupakan
nilai utama yang terkandung di dalam Pancasila. Nilai ini merupakan
ciri utama atau karakter Negara Indonesia. Ia menandaskan bahwa
pembangunan Negara Indonesia haruslah berdasarkan karakteristik
gotong royong Pancasila. Tujuan pembangunan Indonesia bisa tercapai
jika pembangunannya dilaksanakan secara bersama-sama. Terkait hal
ini, ia mengatakan bahwa perlu sekali adanya share authority dan
share of power.
Sementara
itu, terkait persoalan HAM, ia menjelaskan bahwa di abad kemanusiaan
ini, persoalan HAM merupakan persoalan kemanusiaan yang sangat
mendasar. Abad ini menuntut negara agar senantiasa memberikan
perhatian yang sangat serius mengenai persoalan HAM. Diakuinya bahwa
selama ini negara belum sepenuhnya hadir guna menyelesaikan berbagai
persoalan HAM yang ada. Selain itu, menurutnya, seluruh gerak
pembangunan yang dilaksanakan negara hendaknya selalu berlandaskan
nilai-nilai kemanusiaan.
Negara
Lemah
Terkait
tanggung jawab Negara Indonesia mengenai persoalan eks warga Timor
Leste yang ada di wilayah perbatasan antara Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) dan Negara Timor Leste, yang ditanyakan oleh salah
satu peserta Seminar, Natalius menerangkan bahwa, sebenarnya, ada
begitu banyak problem yang terjadi sehubungan dengan persoalan eks
warga Timor Leste. Memang Negara Indonesia belum sepenuhnya mampu
menyelesaikan semua problem itu secara maksimal.
Meski
demikian, menurutnya, sebagai salah satu wujud tanggung jawab
terhadap persoalan warga eks Timor Leste, Negara Indonesia sudah
mengalokasikan dana khusus. Dana ini dialokasikan negara untuk
mengatasi beberapa persoalan pokok mengenai pemenuhan
kebutuhan-kebutuhan dasar eks warga Timor Leste yang ada di sana
seperti perumahan, pendidikan, kesehatan dan lain-lain.
Tetapi, oleh
karena adanya potensi konflik sosial yang timbul akibat munculnya
kesan perlakuan istimewa negara terhadap eks warga Timor Leste, dana
khusus itu digabungkan ke dalam APBD Provinsi. "Hanya saja, oleh
karena adanya potensi konflik sosial di dalam masyarakat, dana itu
digabungkan ke dalam APBD Provinsi oleh Pemerintah Provinsi NTT.
Sehingga dana ini menjadi dana yang diperuntukkan bagi semua. Hal ini
dilakukan agar tidak ada kesan adanya perlakuan istimewa Negara
Indonesia terhadap eks warga Timor Leste yang berpotensi menimbulkan
konflik sosial di antara masyarakat di sana oleh karena adanya
kecemburuan sosial", jelasnya.
Ia juga
mengatakan bahwa salah satu problem eks warga Timor Leste ialah
adanya kapitalisasi oleh Pemerintah Daerah setempat. Natalius melihat
bahwa persoalan eks warga Timor Leste cenderung dikapitalisasi oleh
Pemerintah Daerah setempat guna mendapatkan dana dari Pusat. Dana ini
kemudian lebih banyak digunakan untuk kepentingan individu atau
sektoral.
Ia
mengkritik kelalaian Pemerintah dalam menuntaskan persoalan eks warga
Timor Leste yang disebabkan oleh lambatnya penanganan negara.
"Persoalan eks warga Timor Leste yang ada di sana juga tidak
lepas dari kelalaian Pemerintah di awal-awal ketika status pengungsi
mereka terlepas selama persoalan ini terjadi. Seandainya di
awal-awal, ketika lepasnya status pengungsi eks warga Timor Leste,
Negara Indonesia sudah langsung menangani permasalahan ini secara
serius, tentu permasalahan ini tidak akan serumit sekarang".
Baginya problem-problem yang ada di sana terkait warga eks Timor Leste merupakan bukti nyata ketidakmampuan Negara Indonesia dalam menyelesaikan persoalan ini secara tuntas.
Perampasan
Tanah Rakyat, Redistribusi Tanah dan Reformasi Agraria
Selain
persoalan tanggung jawab negara terhadap eks warga Timor Leste, salah
satu Anggota KOMNAS HAM RI periode 2012-2017 ini juga menyoroti
masalah tanah. Menurutnya persoalan tanah merupakan persoalan yang
sangat penting di Indonesia. Problem utamanya ialah perampasan tanah
rakyat oleh negara dan oligarki. Ia mengatakan bahwa sebanyak 80
(delapan puluh) persen tanah di Indonesia dikuasai oleh oligarki.
Sisanya dikuasi negara. Hal ini tidak lepas dari adanya praktik mafia
tanah.
Nataliuas
mengkritik praktik perselingkuhan anatara negara dan oligarki.
"Perselingkuhan antara negara dan oligarki telah menyengsarakan
rakyat oleh karena tanah-tanah mereka dirampas oleh negara dan
oligarki. Negara tidak melindungi tanah-tanah rakyat. Sebaliknya
bersama oligarki, negara merampasnya", katanya. "Saat ini
saja, ada seorang oknum yang menguasai sekitar 6 (enam) juta hektar
tanah di seluruh wilayah Indonesia. 6 (enam) juta hektar tanah yang
dikuasai itu sama dengan 10 (sepuluh) kali lipat DKI Jakarta. Ada itu
orangnya. Ada faktanya", tegasnya.
Terkait hal
itu, KOMNAS HAM RI sudah meminta Negara untuk melakukan kebijakan
redistribusi tanah dan reformasi agraria. Bagi KOMNAS HAM RI, kedua
kebijakan ini diyakini dapat menyelesaikan persoalan tanah yang
merupakan persoalan terbesar di Indonesia. Namun melihat masih adanya
praktik mafia tanah yang kuat oleh negara dan oligarki, ia mengatakan
bahwa redistribusi tanah dan reformasi agraria masih sulit
dilaksanakan secara baik oleh negara.
Penetrasi
Islam Transnasional dan Ancamannya Terhadap NKRI
Terakhir,
terkait persoalan aktual yang akhir-akhir ini terjadi di Tanah Air,
ia menyinggung masalah keamanan dan stabilitas nasional. Baginya,
konstelasi internasional yang ada, terutama konflik Timur Tengah,
berpotensi mengganggu keamanan dan stabilitas internal negara
Indonesia pada saat ini. Hal ini tidak lepas dari adanya penetrasi
Islam Transnasional yang hendak menghantam Islam Nusantara.
Mengenai
persisnya ancaman penetrasi gelombang Islam Transnasional itu,
Natalius menjelaskan bahwa terjadinya konflik di Timur Tengah
mengakibatkan adanya gelombang migrasi penduduk-penduduk yang ada di
negara-negara itu ke negara-negara lain. Gelombang ini seakan tak
terbendung, dan turut ada di dalamnya yakni Islam Transnasional. Di
Asia Tenggara, selain Malaysia, Indonesia merupakan salah satu negara
yang menjadi target masuknya Islam Transnasional.
Islam
Transnasional ini ingin menghancurkan Islam Nusantara yang selama ini
dihidupkan oleh NU dan Muhammadiyah. Organisasi ini hendak menyaingi
NU dan Muhammadiyah. "Maka jangan heran kalau satu atau dua
tahun ke depan, akan ada sebuah organisasi besar yang mampu
menandingi NU dan Muhammadiyah, yakni Islam Transnasional",
ungkapnya. "Umat-umat di NU dan Muhammadiyah akan berpindah ke
Islam Transnasional", lanjutnya.
Terhadap
ancaman yang ditimbulkan oleh gelombang Islam Transnasional, Negara
Indonesia berusaha mengambil tindakan. Menurutnya tindakan yang
diambil negara itu berupa strategi. "Saat ini, Pemerintah sedang
menyiapkan pelbagai strategi yang tepat untuk melawan penetrasi Islam
Transnasional itu". Tidak dijelaskan mengenai persisnya strategi
negara itu. Natalius menegaskan bahwa gelombang ini berpotensi
mengancam stabilitas keamanan internal negara dan keutuhan NKRI oleh
karena paham radikal yang dibawanya.
Haram
Hukumnya: Sebuah Pesan Moral
Di sela-sela
pembicaraannya mengenai 4 (empat) poin pokok di atas, terkait
maraknya praktik-praktik jahat yang selama ini terjadi dalam
pembangunan di Negara Indonesia, Natalius menyampaikan sebuah pesan
moral kepada seluruh civitas akademika STPMD "APMD". Ia
berpesan: "Haram hukumnya bagi APMD untuk terlibat dalam
praktik-praktik jahat dalam pembangunan Indonesia, terutama
pembangunan Desa. Haram hukumnya".
Seminar
Nasional ini dimoderatori oleh Gaspar S. Krowe, salah satu mahasiswa
STPMD "APMD" sekaligus Menteri Luar Negeri BEM KBM STPMD
"APMD", dan dihadiri oleh para mahasiswa dari beberapa
Perguruan Tinggi di Yogyakarta. Seminar ini ditutup dengan penyerahan
cinderamata dari Lembaga STPMD "APMD" dan BEM KBM STPMD
"APMD" kepada Natalius Pigai, S.I.P.
Penyerahan
cinderamata ini masing-masing diserahkan oleh Ketua STPMD "APMD"
dan Presiden Mahasiswa KBM STPMD "APMD". Pada saat
penyerahan itu, Presiden Mahasiswa berkata bahwa sekiranya kegiatan
ini mampu menjadi inspirasi yang sanggup menghidupkan terus semangat
perjuangan mahasiswa dalam membangun NKRI, terutama penegakan HAM di
Indonesia. (HANS)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar