Masa
Depan Demokrasi Kita?
(Melihat
Kembali Prospek Demokrasi Kita dalam Dunia Yang Berubah)
Oleh Yohanes Silik
"Kita
akan melihat, bagaimanapun, bahwa jalan demokratisasi melahirkan
pertanyaan mengenai apakah kemajuan demokrasi akan berlanjut dan
apakah pengaruh positif dari demokrasi akan timbul? Inilah dilema
pokok di sekeliling transisi menuju demokrasi sekarang ini. Pendek
kata, kemajuan demokrasi saat ini terjadi dengan cara yang dapat
membahayakan kelanjutan dari kemajuan demokrasi" (Georg
Sorensen).
DEMOKRASI
bukankah entitas pasti. Oleh karena itu, diskursus tentangnya
tidaklah final. Tidak ada konklusi akhir yang dapat memastikan
keberlanjutan demokrasi. Guillermo O'Donel menyebutnya tentative
conclution about uncertain democracy. Gelombang-gelombang
demokrasi yang telah terjadi tidak berarti kemenangan mutlak
demokrasi. Bagaimanapun, di tengah dunia yang terus saja berubah,
masa depan demokrasi masih menjadi tanda tanya, atau berhasil atau
gagal? Saat ini, kita tengah mengahadapi kenyataan yang kurang bagus
yakni demokrasi Eropa berada dalam kondisi yang tidak ideal. Ia
mengalami apa yang oleh Daniel Kelemen ditulis A
Dark Age for European Democracy? Eropa
sedang dihantui oleh momok yang tidak jelas identitasnya (Journal
of Democracy, October 2016).
Anti demokrasi merupakan masalah besar yang mengancam Eropa.
Tidak
mudah memang menganalisis situasi Eropa saat ini. Namun barangkali,
situasi-situasi Eropa saat ini bisa dilihat sebagai ancaman berarti
terhadap proses dan prospek demokrasi global. Kegagalan-kegagalan
yang ada pada akhirnya akan membuat kita meragukan kemampuan
demokrasi dalam menciptakan peradaban manusia yang sempurna. Tapi
kita tentu sangat berharap bahwa demokrasi benar-benar mampu
membuktikan dirinya sebagai kekuatan kemanusiaan yang dapat
dipercaya. Visi peradaban mulia yang ia janjikan harus bisa ia
buktikan. Jika tidak kita akan menaruh distrust
terhadapnya.
Oleh karena situasi dan tuntutan zaman yang berbeda maka demokrasi
tidak bisa lagi bertahan di atas lagu lama perang dunia. Saya pikir,
dukungan terhadapnya harus relevan.
Negosiasi
Pada Permulaan Demokrasi: Problem Transisi ke Demokrasi
Jika
tidak ingin terperangkap pada pesimisme atau optimisme akut, maka
kita perlu berpikir realistis bahwa hambatan-hambatan selalu muncul
untuk menghadang laju pertumbuhan demokrasi. Di sini, analisis akurat
mengenai demokrasi menjadi sangat penting, untuk meramal prospek
demokrasi kita secara tepat. Namun adalah penting bagi kita bahwa
transisi ke demokrasi tidak terjadi di atas kekalahan mutlak
otoritarianisme. Pandangan elit mono sentris sangat tidak relevan,
sebab pandangan ini tidak dibangun di atas sebuah asumsi yang lengkap
mengenai pemerintahan yang otoriter. Kenyataannya, pemerintahan yang
otoriter turut terdesentralisasi ke elit-elit lainnya yang berada di
belakang sosok utama.
Otoritarianisme
tidak hidup atau dibangun di atas sosok tunggal. Di permukaan, sosok
ini merupakan aktor utama, tapi ia tidak pernah sendirian, sebab ada
elit-elit lain di balik sosok otoriter. Oleh sebab itu, pada
democratic
openings, terjadi
negosiasi. Elit-elit lain yang berada di balik aktor utama mulai
membangun negosiasi dengan aktor-aktor demokrasi. Negosiasi itu tidak
lebih dari pada sebuah "jalan selamat" bagi elit-elit lain
itu. Di balik negosiasi itu tersimpan hasrat kekuasaan (Bdk.
Sorensen, 1993). Maka tidak berlebihan jika kelesuan demokrasi dewasa
ini, salah satunya, dapat dilihat sebagai konsekuensi logis dari
adanya negosiasi pada permulaan demokrasi itu. Bahkan, kegelisahan
akan kebangkitan otoritarianisme sudah bisa diprediksi jika kita
benar-benar tidak menganggap sepeleh permulaan demokrasi yang sarat
negosiasi.
Terlepas
dari segala macam optimisme kita terhadap prospek demokrasi dan
humanisme yang dimilikinya, kita perlu menaruh perhatian serius pada
pandangan skeptis Samuel Huntington. Bagi Huntington revolusi
gelombang demokrasi global tidak berarti demokrasi telah menang dan
tampil sebagai ideologi tunggal dunia. Ini sekaligus membantah tesis
akhir sejarah yang dikemukakan oleh Francis Fukuyama.
Gelombang-gelombang demokrasi yang telah terjadi tidak berarti
kemenangan mutlak demokrasi terhadap otoritarianisme. Kegagalan
demokrasi dan bahkan kemunculan kembali otoritarianisme selalu ada di
depan. Di samping keberhasilan, ada juga ancaman kegagalan. Bukan
tidak mungkin akan ada gelombang-gelombang otoritarianisme sebagi
arus balik terhadap gelombang-gelombang demokrasi. Hal ini bisa saja
terjadi sebab kita tidak pernah tahu perubahan-perubahan dunia yang
akan terjadi ke depan. Meski demikian, skeptisisme Huntington ini
perlu untuk dibuktikan.
Kembali
lagi mengenai negosiasi. Adam Przeworski melakukan sebuah analisis
aktor. Menurutnya, sebagaimana yang diulas oleh Sorensen, transisi ke
demokrasi tidak lepas dari pilihan-pilihan para aktor penting. Titik
tolaknya ialah derjat ketidakpastian proses politik dalam demokrasi.
Dalam demokrasi, tidak ada satu kelompok pun yang yakin bahwa
kepentingannyalah yang akan menang. Bahkan kepentingan kelompok yang
paling kuat sekalipun. Dengan demikian, lebih lanjut penjelasan
Sorensen, di dalam demokrasi akan terjadi pilihan terhadap reformasi
kebijakan yang sengaja dilakukan oleh kelompok yang lemah, untuk
menyerang kekuatan dan hak-hak istimewa kelompok dominan. Di sini,
akan jelas terlihat bahwa demokrasi dapat memberikan peluang yang
cukup besar bagi kelompok lemah atau kecil, untuk mengakses
kekuasaan, yang mana hal ini tidak mungkin terjadi di dalam sistem
pemerintahan otoriter. Maka pilihan politiknya jatuh kepada
demokrasi.
Namun
pertanyaannya ialah mengapa kelompok dominan mau memilih demokrasi?
Hal ini tidak lepas dari negosiasi. Di dalam negosiasi itu, kelompok
dominan yang mulai terancam oleh kelompok demokrasi mulai melakukan
kalkulasi politik yang matang. Setidak-tidaknya, dengan pilihan ke
demokrasi itu, mereka (kelompok dominan) melihat bahwa akses mereka
ke kekuasaan masih ada. Alasan-alasan kondisional, seperti menjaga
keselamatan diri untuk sementara waktu sembari membangun kembali
kekuatan-kekuatan politik yang sempat rapuh akibat kekalahan perang,
turut mewarnai proses negosiasi itu. Maka dapat disimpulkan bahwa
bagi Przeworski transisi ke demokrasi pada permulaannya merupakan
sebuah konsensus sementara. Konsensus ini sengaja dilakukan oleh
elit-elit otoritarianisme untuk melindungi kepentingan terselubung
mereka, sembari memastikan bahwa lembaga-lembaga demokrasi yang
disiapkan tidak mengancam kepentingan dasar mereka. Boleh dibilang
mereka berlindung di balik demokrasi. Tanpa ragu, ini bisa dikatakan
sebagai simulasi demokrasi.
Jalan
negosiasi yang dijelaskan oleh Przewoski ini sejalan dengan pemikiran
Dankwart Rustow mengenai tahapan demokrasi dalam konteks proses
transisi dan konsolidasi demokrasi (Sorensen, 1993). Setidaknya,
keraguan mengenai permulaan demokrasi terutama keruntuhan rezim
nondemokratis bisa juga dilihat dari perspektif Rustow. Ada tiga
tahapan penting yang Rustow kemukakan yakni tahap persiapan, tahap
keputusan dan tahap konsolidasi. Tahap persiapan ditandai oleh adanya
perpecahan rezim nondemokratis, tahap keputusan yakni tahap
dilakukannya pembangunan tata tertib demokrasi, dan tahap konsolidasi
yakni tahap pembangunan dan pembudayaan demokrasi.
Persoalannya
terletak pada tahap persiapan. Bagi Rustow tahap persiapan merupakan
tahap perjuangan politik yang panjang dan tidak meyakinkan, sebab
bisa jadi perpecahan rezim nondemokratis pada tahap ini terjadi bukan
karena tujuan tunggal. Penentangan kelompok terhadap rezim
nondemokratis bukan untuk tujuan demokrasi substantif, tapi untuk
tujuan-tujuan lainnya. Komposisi kelompok yang ada di balik
penentangan terhadap rezim nondemokratis berbeda-beda. Di sinilah
bagi saya, pemikiran Rustow memberikan pemahaman kepada kita bahwa
sebenarnya transisi ke demokrasi tidak dimulai dengan sebuah proses
murni. Transisi itu sendiri ternyata terjadi dalam tujuan yang tidak
tunggal dan sarat komposisi kelompok yang berbeda. Dengan demikian
cukup nyata bagi kita bahwa permulaan demokrasi ternyata tidak pernah
terjadi dalam sebuah agenda demokrasi yang murni dan terkonsepkan
secara jelas. Foa dan Mounk (Journal
of Democracy, 2016)
mengatakan bahwa meskipun kita memiliki kepercayaan diri yang besar
terhadap konsolidasi demokrasi, namun sesungguhnya kepercayaan diri
kita itu tidak memiliki dasar yang kuat, sebab kita tidak memiliki
alasan yang baik untuk itu. Transisi ke demokrasi kita tidak terjadi
dalam agenda demokrasi yang jelas.
Saya
pikir, ini cukup menjadi salah satu jawaban yang meyakinkan mengapa
demokratisasi selama ini kadang tidak berjalan sesuai harapan.
Terlebih jika kita harus berbicara mengenai prospeknya. Maka cukup
beralasan juga jika Huntington sendiri masih meragukan keberlanjutan
gelombang demokrasi. Bahkan ia mengkhawatirkan kebangkitan
otoritarianisme sebagai gelombang balik. Dan saya pikir dalam konteks
ini tepat jika dilema demokrasi hadir dan mewarnai kembali seluruh
diskusi kita mengenai masa depan demokrasi kita. Dilema ini perlu
sekali ditempatkan sebagai otokritik terhadap gerak pembangunan dan
bahkan pembudayaan demokrasi selama ini. Akankah semua itu berlanjut?
Meski
demikian, teori negosiasi (saya menyebutnya demikian) yang
dikemukakan oleh Przeworski di atas tidak dapat dijadikan sebagai
landasan untuk membuat sebuah kesimpulan umum mengenai prospek suram
demokrasi kita. Demikian pula mengenai skeptisisme Huntington, sebab
bagaimanapun juga, kita perlu sepakat dengan jalan analisis yang
dianjurkan oleh Sorensen bahwa perlu ada analisis kewilayahan yang
lebih rinci mengenai demokratisasi kita. Hal ini sekaligus menjadi
alternatif di tengah skenario pesimistis dan optimistis yang ada.
Namun keduanya sengaja disajikan di sini (mungkin) sebagai wakil dari
beragam pandangan, yang coba melihat demokrasi secara lebih kritis,
tidak dalam optimisme dan juga pesimisme yang overdosis, untuk
memantik kita, guna mengkritisi kembali transisi ke demokrasi kita,
terutama permulaan demokrasinya. Apakah permulaan ini benar-benar
telah terjadi secara murni sekaligus mutlak? Hal ini sekaligus
membangun kecurigaan mendalam kita terhadap setiap transisi ke
demokrasi yang terjadi di dalam gelombang-gelombang demokrasi global.
Kecurigaan terhadap permulaan demokrasi ini merupakan hal yang
penting, sebab bagaimanapun juga, permulaan demokrasi merupakan awal
yang menentukan bagi perjalanan demokrasi selanjutnya. Hematnya,
transisi ke demokrasi sangat ditentukan oleh bagaimana rupa permulaan
demokrasinya.
Kemunculan
Gelombang Demokrasi: Sebuah Ketidakpastian
Tentu,
ada banyak teori yang dikemukakan untuk mencari jawaban fundamental
mengenai pilihan ke demokrasi. Kita dengan bebas dapat menggunakan
semua teori itu sebagai landasan untuk menjawab pertanyaan mengapa
gelombang demokrasi itu bisa muncul. Salah satunya seperti yang sudah
dikemukakan Perzewoski di atas. Selain itu, mungkin kita perlu
menyadari pula bahwa pilihan menuju demokrasi tidak lebih dari sebuah
alasan keyakinan kita sendiri yakni demokrasi dapat mewujudkan
kedamaian dan keadilan (Baechler, 2001). Tentang ini, pemikiran
Immanuel Kant sangat mempengaruhi kita. Kant percaya bahwa demokrasi
merupakan jalan terbaik menuju perdamaian. Ada tiga syarat yang ia
anjurkan. Pertama, eksistensi demokrasi dengan budaya resolusi
konflik secara damai. Kedua, adanya ikatan moral bersama sebagai
landasan relasi internasional di antara negara-negara demokrasi.
Ketiga, kerjasama yang saling menguntungkan di antara sesama
negara-negara demokrasi. Namun Kant sadar bahwa demokrasi sebagai
jalan perdamaian hanya berlaku untuk sesama negara-negara demokrasi.
Terhadap negara-negara nondemokratis, negara-negara demokrasi
bersikap intoleran. Namun ini terlalu idealis. Ia tidak memperhatikan
kondisi sebenarnya yang terjadi dalam transisi ke demokrasi.
Secara
umum, dapat dikatakan bahwa kemunculan gelombang demokrasi terjadi
dalam cara yang sangat kompleks dan berbeda. Di Uni Soviet, misalnya,
transisi ke demokrasi ditandai oleh ragam peristiwa yang kompleks.
Namun salah satu yang penting ialah transisi ke demokrasi di Uni
Soviet tidak lepas dari dilema elit penguasa. Menurut Sorensen dilema
elit penguasa ini terjadi, lantaran upaya reformasi sistem yang
hendak dilakukan elit penguasa, justru mengancam eksistensi atau
posisi kekuasaan mereka sendiri. Namun perlu adanya inisiatif radikal
untuk mengatasi problem krisis sosial dan ekonomi yang tidak
terkontrol. Elit penguasa tidak punya solusi untuk mengatasi dilema
ini. Mereka berusaha menciptakan propaganda bahwa negara berada dalam
keadaan baik. Namun propaganda ini berbeda dengan kenyataan. Mereka
yang tercerahkan akhirnya terus melakukan perlawanan. Alhasil, rezim
otoriter tumbang. Di beberapa negara berkembang, transisi ke
demokrasi diawali oleh krisis ekonomi. Krisis ini diikuti oleh
kejatuhan rezim otoriter dan selanjutnya muncul gerakan massa yang
menuntut reformasi ke demokrasi.
Meski
demikian, kemunculan gelombang demokrasi tidak disebabkan oleh
tumbangnya rezim otoritarianisme secara mutlak. Rutenya panjang dan
sangat kompleks. Tidak ada kepastian bahwa transisi ini benar-benar
terjadi secara murni. Aktor-aktor yang berada di pentas politik pada
saat itu pandai membaca situasi dan melakukan apa yang seharusnya
mereka lakukan. Selebihnya, mereka mulai menunggu kesempatan.
Sorensen menjelaskan bahwa secara retrospeksi kemunculan gelombang
demokrasi cenderung berkisar pada agenda yang sudah jelas yakni
mengetahui bahwa rezim otoriter akan tumbang, kita mulai mengumpulkan
semua hal yang menentang rezim otoriter dan menguntungkan demokrasi.
Demikian sebaliknya, jika kondisi mulai berubah ketika kita
mengetahui bahwa rezim demokrasi akan tumbang, kita mulai
mengumpulkan semua hal yang menentang demokrasi dan menguntungkan
rezim otoriter. Penjelasan retrospeksi Sorensen ini cukup menegaskan
adanya ketidakpastian tersendiri mengenai kemunculan gelombang
demokrasi. Transisi ke demokrasi tidak terjadi di dalam permulaan
demokrasi yang jelas. Tidak ada proses yang murni dan mutlak.
Di
sisi lain, sehubungan dengan ketidakpastian dalam kemunculan
gelombang demokrasi, perlu juga dilihat problem massa. Problem massa
yang saya maksudkan di sini ialah terkait inkonsistensi aksi massa
pada permulaan transisi ke demokrasi. Analisis Przewoski dan Rustow
serta retrospeksi Sorensen juga meragukan soliditas aksi massa pada
awal transisi ke demokrasi. Pertama, dalam analisis Rustow kita
melihat adanya komposisi kelompok yang berbeda-beda. Komposisi ini
jelas akan mempengaruhi arah perjuangan massa. Aksi massa cenderung
terjebak ke dalam gerakan mengambang yang justru menunggangi
perjuangan demokrasi mereka. Kedua, inkonsistensi aksi massa yang
nyata dalam gerakan yang rapuh, yang oleh Sorensen disebut sebagai
gerakan yang cepat mati. Bagi saya Sorensen menyajikan kenyataan
gerakan massa yang mengalami disorientasi pada awal transisi ke
demokrasi. Jadi, sebenarnya kemunculan gelombang demokrasi rentan
akan keruntuhan demokrasi jika selanjutnya konsolidasi demokrasi juga
mengalami problem.
Penurunan
Demokrasi? Konteks Saat Ini
Apakah
demokrasi menurun? Inilah pertanyaan penting yang akhir-akhir ini
diajukan. Pertanyaan ini menjadi penting karena kita akan berhadapan
dengan kemungkinan terburuk yakni kebangkitan rezim otoritarian. Pada
tahun 2015, sebuah diskusi menarik dibuat dalam rangka merayakan 25
tahun Journal
of Democracy. Diskusi
ini mengangkat tema Is
Democracy in Decline? Ia
kurang lebih membahas permasalahan kekinian demokrasi global.
Bahwasannya potret demokrasi dunia saat ini tengah mengalami kondisi
yang kurang bagus. Elemen-elemen dasar demokrasi seperti hak-hak
politik dan kebebasan sipil kian memudar. Dalam
Journal
of Democracy, Larry
Diamond menulis tentang penurunan demokrasi global. Tulisan itu dia
beri judul FACING
UP TO THE DEMOCRATIC RECESSION.
Menurutnya, perkembangan demokrasi akhir-akhir ini tengah mengalami
penurunan. Ada pelemahan dalam dimensi hak-hak politik (kompetisi dan
partisipasi) dan kebebasan sipil. Di samping itu, terjadi pula
penurunan prinsip rule
of law.
Hak-hak
politik dan kebebasan sipil merupakan dimensi pokok dalam demokrasi.
Tidak terjaminnya kedua hal itu merupakan pertanda buruk bagi proses
demokrasi. Selain itu, eksistensi demokrasi tidak bisa terlepas dari
rule
of law. Masyarakat
yang demokratis adalah masyarakat yang memiliki kesadaran
konstitusional yang kuat. Dalam kesadaran itu, hukum merupakan hal
yang utama. Kemunduran dalam penegakan prinsip rule
of law merupakan
gejala buruk bagi perkembangan demokrasi. Konsolidasi demokrasi
mengalami kendala jika penegakan hukum menjadi sangat lemah.
Bagaimanapun demokrasi memerlukan penegakan hukum yang bagus.
Konsolidasi demokrasi kita membutuhkan kondisi yang mampu menjamin
hak-hak politik dan kebebasan sipil serta rule
of law. Jika
tidak, masa depan demokrasi kita akan suram.
Selain
itu, Andrea Kendall Taylor dan Merica Frantz dalam artikel mereka How
Democracies Fall Apart (Why Populism Is a Pathway to Authocracy)
menyoroti
persolan populisme sebagai persolan penting dalam konteks krisis
demokrasi. Mereka melihat adanya tekanan arus populisme yang kuat.
Arus ini bisa menjadi tekanan hebat bagi demokrasi apalagi di tengah
tendensi atau gejala kemunduran demokrasi. Secara kontekstual,
kemunculan arus populisme ini merupakan bentuk ketidakpercayaan
terhadap institusi-institusi politik dalam sistem demokrasi, seperti
parlemen yang tidak mampu menjaga stabilitas demokrasi secara
konsisten (Foa dan Mounk, Journal
of Democracy,
2016). Institusi politik ini mengalami disfungsi. Sistem-sistem
politik yang ada tidak berjalan maksimal. Konsolidasi demokrasi
melemah, sebab tidak didukung oleh optimalisasi fungsi sistem
demokrasi yang ada. Di sisi lain, kita berhadapan pula dengan
kenyataan disorientasi partai-partai politik. Banyak dari mereka yang
bekerja dalam prinsip komodifikasi. Ini semacam pembusukan demokrasi
dari dalam. Institusi-institusi politik di dalam sistem demokrasi
mengalami gagal fungsi. Akibatnya, pembangunan demokrasi kurang
maksimal. Rakyat kecil termarjinalkan (The
Economist, The Populist Explosion: How The Great Recession
Transformer American and European Politics dalam
J. Kristiadi, KOMPAS, 13/12/2016).
Yang
juga penting dalam kaitannya dengan perubahan dunia ialah kondisi
Eropa akhir-akhir ini. Dewasa ini, Eropa tengah berada dalam situasi
yang tidak bagus. Kondisi itu ialah aneksasi Rusia di Crimea,
destabilisasi di Ukraina, serangan teror, krisis pengungsi, badai
ekonomi, Brexit (terkait pasar keuangan Eropa yang belum pulih),
munculnya gelombang ekstrem kanan yang mengancam kemapanan
partai-partai arus utama di seluruh Eropa (termasuk kampanye gerakan
xenofobia) (KOMPAS, 27/11/2016). Kondisi Eropa ini memang dapat
mengancam eksistensi demokrasi global. Angela Merkel, Kanselir
Jerman, melihat hal yang sama. Menurutnya, demokrasi Eropa berada
dalam ancaman. Oleh karena itu, pencalonan kembali dirinya untuk
pemilu Jerman tahun depan dipandang sebagai bagian dari misi
penyelamatan demokrasi Eropa. Apakah ini tanda-tanda akhir demokrasi?
Kondisi Eropa ini cukup menggambarkan dunia yang sudah berubah.
Perubahan ini perlu dilihat secara serius. Kelalaian terhadap semua
itu hanya akan membahayakan eksistensi demokrasi kita. Konteks dunia
yang kompleks dengan segala macam perubahan yang tidak terduga
sebelumnya cukup menjadi alasan yang kuat bagi kita untuk selalu
berhati-hati dalam melihat prospek demokrasi kita. Siapakah yang bisa
memperhitungkan masa depan demokrasi berdasarkan apa yang diamati
saat ini? Sebuah paradoks demokrasi tengah dihadapi kita dan kita
harus meretas paradoks itu (Baechler, 2001).