Rabu, 14 Desember 2016

Masa Depan Demokrasi Kita?
(Melihat Kembali Prospek Demokrasi Kita dalam Dunia Yang Berubah)
Oleh Yohanes Silik

"Kita akan melihat, bagaimanapun, bahwa jalan demokratisasi melahirkan pertanyaan mengenai apakah kemajuan demokrasi akan berlanjut dan apakah pengaruh positif dari demokrasi akan timbul? Inilah dilema pokok di sekeliling transisi menuju demokrasi sekarang ini. Pendek kata, kemajuan demokrasi saat ini terjadi dengan cara yang dapat membahayakan kelanjutan dari kemajuan demokrasi" (Georg Sorensen).

   DEMOKRASI bukankah entitas pasti. Oleh karena itu, diskursus tentangnya tidaklah final. Tidak ada konklusi akhir yang dapat memastikan keberlanjutan demokrasi. Guillermo O'Donel menyebutnya tentative conclution about uncertain democracy. Gelombang-gelombang demokrasi yang telah terjadi tidak berarti kemenangan mutlak demokrasi. Bagaimanapun, di tengah dunia yang terus saja berubah, masa depan demokrasi masih menjadi tanda tanya, atau berhasil atau gagal? Saat ini, kita tengah mengahadapi kenyataan yang kurang bagus yakni demokrasi Eropa berada dalam kondisi yang tidak ideal. Ia mengalami apa yang oleh Daniel Kelemen ditulis A Dark Age for European Democracy? Eropa sedang dihantui oleh momok yang tidak jelas identitasnya (Journal of Democracy, October 2016). Anti demokrasi merupakan masalah besar yang mengancam Eropa.
   Tidak mudah memang menganalisis situasi Eropa saat ini. Namun barangkali, situasi-situasi Eropa saat ini bisa dilihat sebagai ancaman berarti terhadap proses dan prospek demokrasi global. Kegagalan-kegagalan yang ada pada akhirnya akan membuat kita meragukan kemampuan demokrasi dalam menciptakan peradaban manusia yang sempurna. Tapi kita tentu sangat berharap bahwa demokrasi benar-benar mampu membuktikan dirinya sebagai kekuatan kemanusiaan yang dapat dipercaya. Visi peradaban mulia yang ia janjikan harus bisa ia buktikan. Jika tidak kita akan menaruh distrust terhadapnya. Oleh karena situasi dan tuntutan zaman yang berbeda maka demokrasi tidak bisa lagi bertahan di atas lagu lama perang dunia. Saya pikir, dukungan terhadapnya harus relevan. 
 
Negosiasi Pada Permulaan Demokrasi: Problem Transisi ke Demokrasi
   Jika tidak ingin terperangkap pada pesimisme atau optimisme akut, maka kita perlu berpikir realistis bahwa hambatan-hambatan selalu muncul untuk menghadang laju pertumbuhan demokrasi. Di sini, analisis akurat mengenai demokrasi menjadi sangat penting, untuk meramal prospek demokrasi kita secara tepat. Namun adalah penting bagi kita bahwa transisi ke demokrasi tidak terjadi di atas kekalahan mutlak otoritarianisme. Pandangan elit mono sentris sangat tidak relevan, sebab pandangan ini tidak dibangun di atas sebuah asumsi yang lengkap mengenai pemerintahan yang otoriter. Kenyataannya, pemerintahan yang otoriter turut terdesentralisasi ke elit-elit lainnya yang berada di belakang sosok utama.
   Otoritarianisme tidak hidup atau dibangun di atas sosok tunggal. Di permukaan, sosok ini merupakan aktor utama, tapi ia tidak pernah sendirian, sebab ada elit-elit lain di balik sosok otoriter. Oleh sebab itu, pada democratic openings, terjadi negosiasi. Elit-elit lain yang berada di balik aktor utama mulai membangun negosiasi dengan aktor-aktor demokrasi. Negosiasi itu tidak lebih dari pada sebuah "jalan selamat" bagi elit-elit lain itu. Di balik negosiasi itu tersimpan hasrat kekuasaan (Bdk. Sorensen, 1993). Maka tidak berlebihan jika kelesuan demokrasi dewasa ini, salah satunya, dapat dilihat sebagai konsekuensi logis dari adanya negosiasi pada permulaan demokrasi itu. Bahkan, kegelisahan akan kebangkitan otoritarianisme sudah bisa diprediksi jika kita benar-benar tidak menganggap sepeleh permulaan demokrasi yang sarat negosiasi.
   Terlepas dari segala macam optimisme kita terhadap prospek demokrasi dan humanisme yang dimilikinya, kita perlu menaruh perhatian serius pada pandangan skeptis Samuel Huntington. Bagi Huntington revolusi gelombang demokrasi global tidak berarti demokrasi telah menang dan tampil sebagai ideologi tunggal dunia. Ini sekaligus membantah tesis akhir sejarah yang dikemukakan oleh Francis Fukuyama. Gelombang-gelombang demokrasi yang telah terjadi tidak berarti kemenangan mutlak demokrasi terhadap otoritarianisme. Kegagalan demokrasi dan bahkan kemunculan kembali otoritarianisme selalu ada di depan. Di samping keberhasilan, ada juga ancaman kegagalan. Bukan tidak mungkin akan ada gelombang-gelombang otoritarianisme sebagi arus balik terhadap gelombang-gelombang demokrasi. Hal ini bisa saja terjadi sebab kita tidak pernah tahu perubahan-perubahan dunia yang akan terjadi ke depan. Meski demikian, skeptisisme Huntington ini perlu untuk dibuktikan.
   Kembali lagi mengenai negosiasi. Adam Przeworski melakukan sebuah analisis aktor. Menurutnya, sebagaimana yang diulas oleh Sorensen, transisi ke demokrasi tidak lepas dari pilihan-pilihan para aktor penting. Titik tolaknya ialah derjat ketidakpastian proses politik dalam demokrasi. Dalam demokrasi, tidak ada satu kelompok pun yang yakin bahwa kepentingannyalah yang akan menang. Bahkan kepentingan kelompok yang paling kuat sekalipun. Dengan demikian, lebih lanjut penjelasan Sorensen, di dalam demokrasi akan terjadi pilihan terhadap reformasi kebijakan yang sengaja dilakukan oleh kelompok yang lemah, untuk menyerang kekuatan dan hak-hak istimewa kelompok dominan. Di sini, akan jelas terlihat bahwa demokrasi dapat memberikan peluang yang cukup besar bagi kelompok lemah atau kecil, untuk mengakses kekuasaan, yang mana hal ini tidak mungkin terjadi di dalam sistem pemerintahan otoriter. Maka pilihan politiknya jatuh kepada demokrasi.
   Namun pertanyaannya ialah mengapa kelompok dominan mau memilih demokrasi? Hal ini tidak lepas dari negosiasi. Di dalam negosiasi itu, kelompok dominan yang mulai terancam oleh kelompok demokrasi mulai melakukan kalkulasi politik yang matang. Setidak-tidaknya, dengan pilihan ke demokrasi itu, mereka (kelompok dominan) melihat bahwa akses mereka ke kekuasaan masih ada. Alasan-alasan kondisional, seperti menjaga keselamatan diri untuk sementara waktu sembari membangun kembali kekuatan-kekuatan politik yang sempat rapuh akibat kekalahan perang, turut mewarnai proses negosiasi itu. Maka dapat disimpulkan bahwa bagi Przeworski transisi ke demokrasi pada permulaannya merupakan sebuah konsensus sementara. Konsensus ini sengaja dilakukan oleh elit-elit otoritarianisme untuk melindungi kepentingan terselubung mereka, sembari memastikan bahwa lembaga-lembaga demokrasi yang disiapkan tidak mengancam kepentingan dasar mereka. Boleh dibilang mereka berlindung di balik demokrasi. Tanpa ragu, ini bisa dikatakan sebagai simulasi demokrasi.
   Jalan negosiasi yang dijelaskan oleh Przewoski ini sejalan dengan pemikiran Dankwart Rustow mengenai tahapan demokrasi dalam konteks proses transisi dan konsolidasi demokrasi (Sorensen, 1993). Setidaknya, keraguan mengenai permulaan demokrasi terutama keruntuhan rezim nondemokratis bisa juga dilihat dari perspektif Rustow. Ada tiga tahapan penting yang Rustow kemukakan yakni tahap persiapan, tahap keputusan dan tahap konsolidasi. Tahap persiapan ditandai oleh adanya perpecahan rezim nondemokratis, tahap keputusan yakni tahap dilakukannya pembangunan tata tertib demokrasi, dan tahap konsolidasi yakni tahap pembangunan dan pembudayaan demokrasi.
   Persoalannya terletak pada tahap persiapan. Bagi Rustow tahap persiapan merupakan tahap perjuangan politik yang panjang dan tidak meyakinkan, sebab bisa jadi perpecahan rezim nondemokratis pada tahap ini terjadi bukan karena tujuan tunggal. Penentangan kelompok terhadap rezim nondemokratis bukan untuk tujuan demokrasi substantif, tapi untuk tujuan-tujuan lainnya. Komposisi kelompok yang ada di balik penentangan terhadap rezim nondemokratis berbeda-beda. Di sinilah bagi saya, pemikiran Rustow memberikan pemahaman kepada kita bahwa sebenarnya transisi ke demokrasi tidak dimulai dengan sebuah proses murni. Transisi itu sendiri ternyata terjadi dalam tujuan yang tidak tunggal dan sarat komposisi kelompok yang berbeda. Dengan demikian cukup nyata bagi kita bahwa permulaan demokrasi ternyata tidak pernah terjadi dalam sebuah agenda demokrasi yang murni dan terkonsepkan secara jelas. Foa dan Mounk (Journal of Democracy, 2016) mengatakan bahwa meskipun kita memiliki kepercayaan diri yang besar terhadap konsolidasi demokrasi, namun sesungguhnya kepercayaan diri kita itu tidak memiliki dasar yang kuat, sebab kita tidak memiliki alasan yang baik untuk itu. Transisi ke demokrasi kita tidak terjadi dalam agenda demokrasi yang jelas.
   Saya pikir, ini cukup menjadi salah satu jawaban yang meyakinkan mengapa demokratisasi selama ini kadang tidak berjalan sesuai harapan. Terlebih jika kita harus berbicara mengenai prospeknya. Maka cukup beralasan juga jika Huntington sendiri masih meragukan keberlanjutan gelombang demokrasi. Bahkan ia mengkhawatirkan kebangkitan otoritarianisme sebagai gelombang balik. Dan saya pikir dalam konteks ini tepat jika dilema demokrasi hadir dan mewarnai kembali seluruh diskusi kita mengenai masa depan demokrasi kita. Dilema ini perlu sekali ditempatkan sebagai otokritik terhadap gerak pembangunan dan bahkan pembudayaan demokrasi selama ini. Akankah semua itu berlanjut?
   Meski demikian, teori negosiasi (saya menyebutnya demikian) yang dikemukakan oleh Przeworski di atas tidak dapat dijadikan sebagai landasan untuk membuat sebuah kesimpulan umum mengenai prospek suram demokrasi kita. Demikian pula mengenai skeptisisme Huntington, sebab bagaimanapun juga, kita perlu sepakat dengan jalan analisis yang dianjurkan oleh Sorensen bahwa perlu ada analisis kewilayahan yang lebih rinci mengenai demokratisasi kita. Hal ini sekaligus menjadi alternatif di tengah skenario pesimistis dan optimistis yang ada. Namun keduanya sengaja disajikan di sini (mungkin) sebagai wakil dari beragam pandangan, yang coba melihat demokrasi secara lebih kritis, tidak dalam optimisme dan juga pesimisme yang overdosis, untuk memantik kita, guna mengkritisi kembali transisi ke demokrasi kita, terutama permulaan demokrasinya. Apakah permulaan ini benar-benar telah terjadi secara murni sekaligus mutlak? Hal ini sekaligus membangun kecurigaan mendalam kita terhadap setiap transisi ke demokrasi yang terjadi di dalam gelombang-gelombang demokrasi global. Kecurigaan terhadap permulaan demokrasi ini merupakan hal yang penting, sebab bagaimanapun juga, permulaan demokrasi merupakan awal yang menentukan bagi perjalanan demokrasi selanjutnya. Hematnya, transisi ke demokrasi sangat ditentukan oleh bagaimana rupa permulaan demokrasinya.

Kemunculan Gelombang Demokrasi: Sebuah Ketidakpastian
   Tentu, ada banyak teori yang dikemukakan untuk mencari jawaban fundamental mengenai pilihan ke demokrasi. Kita dengan bebas dapat menggunakan semua teori itu sebagai landasan untuk menjawab pertanyaan mengapa gelombang demokrasi itu bisa muncul. Salah satunya seperti yang sudah dikemukakan Perzewoski di atas. Selain itu, mungkin kita perlu menyadari pula bahwa pilihan menuju demokrasi tidak lebih dari sebuah alasan keyakinan kita sendiri yakni demokrasi dapat mewujudkan kedamaian dan keadilan (Baechler, 2001). Tentang ini, pemikiran Immanuel Kant sangat mempengaruhi kita. Kant percaya bahwa demokrasi merupakan jalan terbaik menuju perdamaian. Ada tiga syarat yang ia anjurkan. Pertama, eksistensi demokrasi dengan budaya resolusi konflik secara damai. Kedua, adanya ikatan moral bersama sebagai landasan relasi internasional di antara negara-negara demokrasi. Ketiga, kerjasama yang saling menguntungkan di antara sesama negara-negara demokrasi. Namun Kant sadar bahwa demokrasi sebagai jalan perdamaian hanya berlaku untuk sesama negara-negara demokrasi. Terhadap negara-negara nondemokratis, negara-negara demokrasi bersikap intoleran. Namun ini terlalu idealis. Ia tidak memperhatikan kondisi sebenarnya yang terjadi dalam transisi ke demokrasi.
   Secara umum, dapat dikatakan bahwa kemunculan gelombang demokrasi terjadi dalam cara yang sangat kompleks dan berbeda. Di Uni Soviet, misalnya, transisi ke demokrasi ditandai oleh ragam peristiwa yang kompleks. Namun salah satu yang penting ialah transisi ke demokrasi di Uni Soviet tidak lepas dari dilema elit penguasa. Menurut Sorensen dilema elit penguasa ini terjadi, lantaran upaya reformasi sistem yang hendak dilakukan elit penguasa, justru mengancam eksistensi atau posisi kekuasaan mereka sendiri. Namun perlu adanya inisiatif radikal untuk mengatasi problem krisis sosial dan ekonomi yang tidak terkontrol. Elit penguasa tidak punya solusi untuk mengatasi dilema ini. Mereka berusaha menciptakan propaganda bahwa negara berada dalam keadaan baik. Namun propaganda ini berbeda dengan kenyataan. Mereka yang tercerahkan akhirnya terus melakukan perlawanan. Alhasil, rezim otoriter tumbang. Di beberapa negara berkembang, transisi ke demokrasi diawali oleh krisis ekonomi. Krisis ini diikuti oleh kejatuhan rezim otoriter dan selanjutnya muncul gerakan massa yang menuntut reformasi ke demokrasi.
   Meski demikian, kemunculan gelombang demokrasi tidak disebabkan oleh tumbangnya rezim otoritarianisme secara mutlak. Rutenya panjang dan sangat kompleks. Tidak ada kepastian bahwa transisi ini benar-benar terjadi secara murni. Aktor-aktor yang berada di pentas politik pada saat itu pandai membaca situasi dan melakukan apa yang seharusnya mereka lakukan. Selebihnya, mereka mulai menunggu kesempatan. Sorensen menjelaskan bahwa secara retrospeksi kemunculan gelombang demokrasi cenderung berkisar pada agenda yang sudah jelas yakni mengetahui bahwa rezim otoriter akan tumbang, kita mulai mengumpulkan semua hal yang menentang rezim otoriter dan menguntungkan demokrasi. Demikian sebaliknya, jika kondisi mulai berubah ketika kita mengetahui bahwa rezim demokrasi akan tumbang, kita mulai mengumpulkan semua hal yang menentang demokrasi dan menguntungkan rezim otoriter. Penjelasan retrospeksi Sorensen ini cukup menegaskan adanya ketidakpastian tersendiri mengenai kemunculan gelombang demokrasi. Transisi ke demokrasi tidak terjadi di dalam permulaan demokrasi yang jelas. Tidak ada proses yang murni dan mutlak.
   Di sisi lain, sehubungan dengan ketidakpastian dalam kemunculan gelombang demokrasi, perlu juga dilihat problem massa. Problem massa yang saya maksudkan di sini ialah terkait inkonsistensi aksi massa pada permulaan transisi ke demokrasi. Analisis Przewoski dan Rustow serta retrospeksi Sorensen juga meragukan soliditas aksi massa pada awal transisi ke demokrasi. Pertama, dalam analisis Rustow kita melihat adanya komposisi kelompok yang berbeda-beda. Komposisi ini jelas akan mempengaruhi arah perjuangan massa. Aksi massa cenderung terjebak ke dalam gerakan mengambang yang justru menunggangi perjuangan demokrasi mereka. Kedua, inkonsistensi aksi massa yang nyata dalam gerakan yang rapuh, yang oleh Sorensen disebut sebagai gerakan yang cepat mati. Bagi saya Sorensen menyajikan kenyataan gerakan massa yang mengalami disorientasi pada awal transisi ke demokrasi. Jadi, sebenarnya kemunculan gelombang demokrasi rentan akan keruntuhan demokrasi jika selanjutnya konsolidasi demokrasi juga mengalami problem.

Penurunan Demokrasi? Konteks Saat Ini
   Apakah demokrasi menurun? Inilah pertanyaan penting yang akhir-akhir ini diajukan. Pertanyaan ini menjadi penting karena kita akan berhadapan dengan kemungkinan terburuk yakni kebangkitan rezim otoritarian. Pada tahun 2015, sebuah diskusi menarik dibuat dalam rangka merayakan 25 tahun Journal of Democracy. Diskusi ini mengangkat tema Is Democracy in Decline? Ia kurang lebih membahas permasalahan kekinian demokrasi global. Bahwasannya potret demokrasi dunia saat ini tengah mengalami kondisi yang kurang bagus. Elemen-elemen dasar demokrasi seperti hak-hak politik dan kebebasan sipil kian memudar. Dalam Journal of Democracy, Larry Diamond menulis tentang penurunan demokrasi global. Tulisan itu dia beri judul FACING UP TO THE DEMOCRATIC RECESSION. Menurutnya, perkembangan demokrasi akhir-akhir ini tengah mengalami penurunan. Ada pelemahan dalam dimensi hak-hak politik (kompetisi dan partisipasi) dan kebebasan sipil. Di samping itu, terjadi pula penurunan prinsip rule of law.
   Hak-hak politik dan kebebasan sipil merupakan dimensi pokok dalam demokrasi. Tidak terjaminnya kedua hal itu merupakan pertanda buruk bagi proses demokrasi. Selain itu, eksistensi demokrasi tidak bisa terlepas dari rule of law. Masyarakat yang demokratis adalah masyarakat yang memiliki kesadaran konstitusional yang kuat. Dalam kesadaran itu, hukum merupakan hal yang utama. Kemunduran dalam penegakan prinsip rule of law merupakan gejala buruk bagi perkembangan demokrasi. Konsolidasi demokrasi mengalami kendala jika penegakan hukum menjadi sangat lemah. Bagaimanapun demokrasi memerlukan penegakan hukum yang bagus. Konsolidasi demokrasi kita membutuhkan kondisi yang mampu menjamin hak-hak politik dan kebebasan sipil serta rule of law. Jika tidak, masa depan demokrasi kita akan suram.
   Selain itu, Andrea Kendall Taylor dan Merica Frantz dalam artikel mereka How Democracies Fall Apart (Why Populism Is a Pathway to Authocracy) menyoroti persolan populisme sebagai persolan penting dalam konteks krisis demokrasi. Mereka melihat adanya tekanan arus populisme yang kuat. Arus ini bisa menjadi tekanan hebat bagi demokrasi apalagi di tengah tendensi atau gejala kemunduran demokrasi. Secara kontekstual, kemunculan arus populisme ini merupakan bentuk ketidakpercayaan terhadap institusi-institusi politik dalam sistem demokrasi, seperti parlemen yang tidak mampu menjaga stabilitas demokrasi secara konsisten (Foa dan Mounk, Journal of Democracy, 2016). Institusi politik ini mengalami disfungsi. Sistem-sistem politik yang ada tidak berjalan maksimal. Konsolidasi demokrasi melemah, sebab tidak didukung oleh optimalisasi fungsi sistem demokrasi yang ada. Di sisi lain, kita berhadapan pula dengan kenyataan disorientasi partai-partai politik. Banyak dari mereka yang bekerja dalam prinsip komodifikasi. Ini semacam pembusukan demokrasi dari dalam. Institusi-institusi politik di dalam sistem demokrasi mengalami gagal fungsi. Akibatnya, pembangunan demokrasi kurang maksimal. Rakyat kecil termarjinalkan (The Economist, The Populist Explosion: How The Great Recession Transformer American and European Politics dalam J. Kristiadi, KOMPAS, 13/12/2016).
   Yang juga penting dalam kaitannya dengan perubahan dunia ialah kondisi Eropa akhir-akhir ini. Dewasa ini, Eropa tengah berada dalam situasi yang tidak bagus. Kondisi itu ialah aneksasi Rusia di Crimea, destabilisasi di Ukraina, serangan teror, krisis pengungsi, badai ekonomi, Brexit (terkait pasar keuangan Eropa yang belum pulih), munculnya gelombang ekstrem kanan yang mengancam kemapanan partai-partai arus utama di seluruh Eropa (termasuk kampanye gerakan xenofobia) (KOMPAS, 27/11/2016). Kondisi Eropa ini memang dapat mengancam eksistensi demokrasi global. Angela Merkel, Kanselir Jerman, melihat hal yang sama. Menurutnya, demokrasi Eropa berada dalam ancaman. Oleh karena itu, pencalonan kembali dirinya untuk pemilu Jerman tahun depan dipandang sebagai bagian dari misi penyelamatan demokrasi Eropa. Apakah ini tanda-tanda akhir demokrasi? Kondisi Eropa ini cukup menggambarkan dunia yang sudah berubah. Perubahan ini perlu dilihat secara serius. Kelalaian terhadap semua itu hanya akan membahayakan eksistensi demokrasi kita. Konteks dunia yang kompleks dengan segala macam perubahan yang tidak terduga sebelumnya cukup menjadi alasan yang kuat bagi kita untuk selalu berhati-hati dalam melihat prospek demokrasi kita. Siapakah yang bisa memperhitungkan masa depan demokrasi berdasarkan apa yang diamati saat ini? Sebuah paradoks demokrasi tengah dihadapi kita dan kita harus meretas paradoks itu (Baechler, 2001).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar