Senin, 12 Desember 2016



Rekognisi: Politik Identitas Desa dan Jalan Kembali Membela Desa Menuju Desa Mandiri
Oleh Yohanes Silik

Ada dua pemandangan berbeda tentang desa. Sebelum lahirnya UU Desa Nomor 6 Tahun 2014, desa diposisikan sebagai objek subordinasi sementara sesudah lahirnya UU Desa itu, posisi desa dikembalikan menjadi subjek otentik. Sebagai objek subordinasi, posisi desa berada dalam skenario imposisi. Skenario ini sarat akan kenyataan keterbelengguan desa oleh negara. Negara muncul dengan pendekatan tata negara yang secara sepihak mengintervensi desa dengan empat pola imposisi yakni modernisasi, korporatisasi, teknokrasi, dan birokratisasi. Dengan keempat pola imposisi itu, negara menggilas desa dengan beragam pembangunan yang menempatkan desa sebagai objek pembangunan semata.
Sebagai subjek otentik, posisi desa dikembalikan ke identitas aslinya sebagai desa yang memiliki hak asal-usul yang harus diakui negara. Negara tidak lagi memperlakukan desa sebagai objek pembangunan dalam kerangka subordinasi imposisi, tetapi mengembalikan desa sebagai subjek pembangunan dalam kerangka rekognisi. Karakter relasi antara negara dan desa bukanlah karakter mayor-minor atau superior-inferior dalam bingkai imposisi yang kuat, tetapi karakter rekognisi. Dengan karakter ini, desa diakui negara dan tidak lagi digenggam oleh empat pola imposisi yakni modernisasi, korporatisasi, teknokrasi dan birokratisasi.

Rekognisi: Politik Identitas Desa dan Jalan Kembali Membela Desa
Frase membela desa mengandung pengertian posisi desa yang lemah sehingga perlu dibela. Membela desa berarti mengeluarkan desa dari posisi lemahnya agar desa bisa lebih berdaya. Dengan demikian, membela desa berarti membela dari dan membela untuk. Frase membela desa dapat dimaknai dengan pendekatan politik identitas dalam teori multikulturalisme Will Kymlicka. Dalam teorinya itu, Kymlicka berpendapat bahwa kehidupan sosial yang plural membuat masyarakat terbagi ke dalam identitas-identitas yang beragam. Identitas-identitas yang beragam berbeda secara kuantitatif dan kualitatif. Perbedaan identitas ini menimbulkan interaksi identitas yang tidak seimbang. Identitas mayor atau dominan memperlakukan dirinya sebagai identitas super yang hanya kepadanya identitas kecil (minor) tunduk. Dengan demikian, ada semacam penaklukan identitas. Dalam penaklukan ini, hak-hak fundamental identitas kecil dilanggar oleh identitas besar. Tidak ada keadilan di dalam kondisi ini. Identitas besar cenderung memperlakukan identitas kecil sebagai objek nihil.
Terhadap kondisi ini, identitas minor bangkit bergerak menuntut keadilan. Kesadaran yang kuat akan prinsip kesetaraan di antara semua identitas memunculkan gerakan pengakuan dari identitas kecil. Lahirlah politik identitas sebagai gerakan politik dari kaum minor. Gerakan ini menuntut pengakuan identitas besar atas keberadaan identitas kecil. Keberagaman identitas yang ada, secara hakiki, dimaknai sebagai sebuah kesederajatan identitas yang tidak mengenal adanya dominasi identitas. Politik identitas lahir sebagai gugatan fundamental identitas minor terhadap perlakuan diskriminatif identitas besar. Politik ini tampil sebagai kesadaran eksistensial sekaligus sebagai manifestasi emansipasi yang mendorong terciptanya kehidupan plural yang demokratis. Politik identitas merupakan politik pengakuan yang menuntut adanya jaminan mutlak terhadap hak-hak fundamental identitas kecil. Politik pengakuan ini oleh Husserl disebut sebagai jalan kembali (back to ).
Rekognisi desa dapat dimaknai dalam kerangka perspektif politik identitas multikulturalisme. Pertama, imposisi negara terhadap desa dengan model tata negara telah menampilkan wujud negara sebagai mesin penggilas desa. Mesin ini bekerja dalam kerangka empat model imposisi yakni modernisasi, korporatisasi, teknokrasi dan birokratisasi. Dalam kerangka empat model imposisi itu, negara sukses menaruh desa sebagai identitas kecil yang mudah diperas. Sutoro Eko, misalnya, dalam studinya mengenai pola hubungan negara dengan desa menemukan adanya lima model hubungan negara  dengan desa. Tiga dari kelima pola hubungan itu berciri negatif dengan menempatkan desa sebagai objek negara. Ketiga pola hubungan itu ialah birokratisasi-korporatisasi, hubungan dan strategi politisasi dan hubungan patronase ekonomi politik. Imposisi negara menguat dalam ketiga pola hubungan tersebut sehingga menelurkan desa minor. Muncul model relasi korporatisasi politisasi. Negara tidak merepresentasi dan menegosiasi desa dari bawah ke atas (bottom up). Keadaan ini mengakibatkan gagalnya daya emansipasi desa yang ditandai oleh matinya civil society.
Kedua, perencanaan desa. Perencanaan desa dapat menjadi instrumen ukur untuk melihat sejauh manakah negara mengakui desa. Kenyataan selama ini, terutama sebelum lahirnya UU Desa Nomor 6 Tahun 2014, negara terus menegasi desa dengan menelurkan kebijakan-kebijakan pembangunan yang tidak partisipatoris. Desa ditempatkan sebagai objek pembangunan negara yang didekati dengan pembangunan non village self planning. Perencanaan pembangunan yang dibuat negara tidak memperhatikan hakekat dan sifat otonomi desa yakni rekognisi dan subsidiaritas. Perencanaan pembangunan tidak muncul dari kesadaran akan sifat otonomi desa yakni otonomi dari dalam, otonomi dari bawah, dan hanya sedikit otonomi dari atas. Dengan demikian, perencanaan pembangunan bersifat state centris. Corak emansipasi lokal dalam perencanaan desa menjadi kerdil. Pembangunan-pembangunan yang ada mengingkari keberadaan desa. Perencanaan demikian membuat negara muncul sebagai identitas besar yang mengingkari desa. Model ini sekaligus menjadikan desa sebagai identitas minor yang kehilangan daya emansipasi lokalnya sekaligus mempertegas adanya simulasi desa. Akibatnya, desa menjadi kehilangan manfaatnya.
Ketiga, desa korporatis. Studi Sutoro Eko tentang perubahan politik pemerintah desa menyimpulkan bahwa selama ini desa menjadi arena kontestasi pengaruh antara adat, pemerintah, jaringan kekerabatan, agama, dan organisasi masyarakat sipil. Desa korporatis merupakan manifestasi dari pengaruh pemerintah (negara) terhadap desa dalam konteks kontestasi tersebut. Desa korporatis akan menelurkan model desa administratif. Desa hanya merupakan kepanjangan tangan negara yang melulu berurusan dengan kewajibannya menjalankan aturan dan petunjuk dari atas. Model korporatis ini membuat desa belum mampu tumbuh sebagai institusi publik yang sempurna. Dengan demikian, desa korporatis hanya memposisikan desa sebagai "pembantu" negara di level paling bawah. Dalam model korporatis ini, desa sulit menjadi desa mandiri sebab diperlakukan sebagai identitas kecil yang harus "tunduk" kepada identitas besar yakni negara.
Membela desa merupakan keharusan. Mengapa? Posisi desa sebagai identitas kecil telah menyimpang dari yang seharusnya. Desa dikuasai negara tanpa memperhatikan cara-cara desa yang telah lama hidup. Negara mengintervensi desa dengan menjadikannya sebagai sasaran pembangunan semata. Desa tidak diakui oleh negara sebagai "negara kecil" yang memliki hak asal-usul. Selama ini, negara mendekati desa dengan model imposisi yang kental dengan state centris. Akibatnya, identitas desa terabaikan. Desa tidak lagi hidup dengan otentisitas dirinya tetapi, berada dalam kerangka simulasi korporatis yang dikonstruksi negara secara paksa. Negara muncul sebagai identitas besar yang gagal paham. Negara memaksakan kehendak sentralistiknya kepada desa dan memperlakukan desa sebagai bagian dari skenario komodifikasi. Perilaku negara terhadap desa sarat simbol yang kental dengan pendekatan top down. Emansipasi desa redup dan desa hidup di dalam penjara negara. Mengutip Purwo Santoso, negara tidak memperlakukan desa dalam gagasan saling merangkul (mutual inclusion). Sebaliknya, kondisi minor desa di hadapan negara terjadi dalam gagasan mengingkari.
Rekognisi merupakan jalan "politik identitas" desa. Melalui rekognisi, desa meminta pengakuan negara terhadap identitasnya. Skenario imposisi yang dilancarkan negara dapat dilihat sebagai cara negara membangun pola relasi mayor minor antara negara dengan desa. Rekognisi merupakan "politik identitas" desa sekaligus jalan kembali negara untuk mengakui desa dan memulihkan hubungan mayor minor itu. Sebagai jalan kembali negara, rekognisi merupakan manifestasi pengakuan negara terhadap otentisitas desa. Negara kembali ke desa sebagaimana desa "apa adanya" bukan sebagaimana desa menurut negara. Di sinilah tepatnya kita membela desa. Membela desa berarti membebaskan desa dari kesalahan kategoris negara agar terwujudlah desa otentik. Kesalahan kategoris negara, salah satunya, dapat dilacak lewat paradigma Indonesia Membangun Desa (IMD). Lewat paradigma IMD, Negara menegasi desa dengan tiga pola pembangunan yakni pembangunan yang digerakkan oleh negara, pembangunan yang digerakkan oleh pasar dan pembangunan yang digerakkan oleh masyarakat desa. Ketiga pola pembangunan versi IMD itu ternyata melemahkan desa dan membuat desa menjadi tidak bermanfaat.
Membela desa berarti kembali ke desa yakni negara melihat desa sebagaimana desa menurut identitas aslinya tanpa modernisasi, korporatisasi, teknokrasi, dan birokratisasi yang eksklusif-destruktif. Rekognisi menuntut adanya penghapusan praktik-praktik simulasi desa yang dilakukan negara selama ini. Terjadi evolusi kesadaran lewat perubahan paradigma. Melalui rekognisi, paradigma IMD yang destruktif diubah dengan paradigma Desa Membangun Indonesia (DMI). Dengan paradigma DMI, desa diperkuat sehingga mampu menjadi desa transformatif (menjadi basis kehidupan dan penghidupan). Dengan itu, desa dapat menjadi lebih bertenaga secara sosial, berdaulat secara politik, berdaya secara ekonomi dan bermartabat secara budaya (desa bermanfaat). Inilah rekognisi sebagai politik identitas desa dan jalan kembali membela desa.

Menuju Desa Mandiri
Rekognisi desa di atas, sejatinya, telah membuka jalan menuju desa mandiri. Konsep desa mandiri diambil dari kerangka preskriptif yang dikemukakan oleh Sutoro Eko yakni bertenaga secara sosial, berdaulat secara politik, berdaya secara ekonomi dan bermartabat secara budaya. Dengan demikian, desa mandiri meliputi empat bidang pokok yakni sosial, politik, ekonomi dan budaya. Pertama, bertenaga secara sosial. Ini berkaitan dengan modal sosial. Bertenaga secara sosial berarti desa mampu membangun atau melestarikan modal sosialnya agar dapat menjadi pijakan yang kuat kokoh bagi terwujudnya pembangunan dan demokrasi desa. Modal sosial desa akan menumbuhkembangkan tradisi kewargaan di tingkat desa. Hubungan-hubungan horizontal seperti kepercayaan, toleransi, kerjasama dan solidaritas akan membentuk sebuah komunitas sipil (civil community) yang kuat di desa (desa sipil). Selain modal sosial, bertenaga secara sosial berkaitan pula dengan aspek layanan sosial dasar yang efektif dari pemerintah desa kepada masyarakat desa.
Kedua, berdaulat secara politik. Kondisi ini ditandai oleh adanya demokratisasi desa. Desa menjadi basis demokrasi, partisipasi dan representasi warga. Ciri kuat yang menandai ini ialah munculnya organisasi masyarakat sipil yang memiliki daya. Daya yang dimaksud ialah mampu melampaui lembaga-lembaga kemasyarakatan korporatis, menjadi arena politik warga untuk memperjuangkan hak-hak dan kepentingan warga dan sanggup melakukan kontrol terhadap institusi desa. Dengan demikian, daya ini dapat menghidupkan civil society desa. Ketiga, berdaya secara ekonomi. Secara ekonomi, desa mampu menyediakan sumber-sumber ekonomi. Sumber-sumber ini digerakkan secara mandiri kolektif oleh desa sehingga mampu mewujudkan kesejahteraan masyarakat desa. Kemandirian-kolektifitas ini dapat memangkas akses ekonomi negara yang sering menempatkan desa sebagai objek eksploitasi residu. Keempat, bermartabat secara budaya. Ditandai oleh hidupnya nilai-nilai kearifan lokal sebagai landasan kehidupan bersama. Jadi, menuju desa mandiri berarti memperkuat modal sosial dan mengefektifkan layanan sosial dasar desa, mampu menjadi basis demokrasi yang sejati, menggerakkan sumber-sumber ekonomi desa secara mandiri dan kolektif, dan sanggup menghidupi nilai-nilai kearifan lokal desa. Rekognisi, sejatinya, telah memungkinkan semua ini bisa terwujud. Membela desa, menyelamatkan Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar