Rekognisi: Politik Identitas Desa dan
Jalan Kembali Membela Desa Menuju Desa Mandiri
Oleh Yohanes Silik
Ada dua pemandangan berbeda tentang
desa. Sebelum lahirnya UU Desa Nomor 6 Tahun 2014, desa diposisikan sebagai
objek subordinasi sementara sesudah lahirnya UU Desa itu, posisi desa
dikembalikan menjadi subjek otentik. Sebagai objek subordinasi, posisi desa berada
dalam skenario imposisi. Skenario ini sarat akan kenyataan keterbelengguan desa
oleh negara. Negara muncul dengan pendekatan tata negara yang secara sepihak
mengintervensi desa dengan empat pola imposisi yakni modernisasi,
korporatisasi, teknokrasi, dan birokratisasi. Dengan keempat pola imposisi itu,
negara menggilas desa dengan beragam pembangunan yang menempatkan desa sebagai
objek pembangunan semata.
Sebagai subjek otentik, posisi desa dikembalikan
ke identitas aslinya sebagai desa yang memiliki hak asal-usul yang harus diakui
negara. Negara tidak lagi memperlakukan desa sebagai objek pembangunan dalam kerangka
subordinasi imposisi, tetapi mengembalikan desa sebagai subjek pembangunan
dalam kerangka rekognisi. Karakter relasi antara negara dan desa bukanlah karakter
mayor-minor atau superior-inferior dalam bingkai imposisi yang kuat, tetapi karakter
rekognisi. Dengan karakter ini, desa diakui negara dan tidak lagi digenggam
oleh empat pola imposisi yakni modernisasi, korporatisasi, teknokrasi dan
birokratisasi.
Rekognisi:
Politik Identitas Desa dan Jalan Kembali Membela Desa
Frase membela desa mengandung pengertian
posisi desa yang lemah sehingga perlu dibela. Membela desa berarti mengeluarkan
desa dari posisi lemahnya agar desa bisa lebih berdaya. Dengan demikian, membela
desa berarti membela dari dan membela untuk. Frase membela desa dapat dimaknai dengan
pendekatan politik identitas dalam teori multikulturalisme Will Kymlicka. Dalam
teorinya itu, Kymlicka berpendapat bahwa kehidupan sosial yang plural membuat
masyarakat terbagi ke dalam identitas-identitas yang beragam. Identitas-identitas
yang beragam berbeda secara kuantitatif dan kualitatif. Perbedaan identitas ini
menimbulkan interaksi identitas yang tidak seimbang. Identitas mayor atau
dominan memperlakukan dirinya sebagai identitas super yang hanya kepadanya
identitas kecil (minor) tunduk. Dengan demikian, ada semacam penaklukan identitas.
Dalam penaklukan ini, hak-hak fundamental identitas kecil dilanggar oleh identitas
besar. Tidak ada keadilan di dalam kondisi ini. Identitas besar cenderung
memperlakukan identitas kecil sebagai objek nihil.
Terhadap kondisi ini, identitas minor
bangkit bergerak menuntut keadilan. Kesadaran yang kuat akan prinsip kesetaraan
di antara semua identitas memunculkan gerakan pengakuan dari identitas kecil.
Lahirlah politik identitas sebagai gerakan politik dari kaum minor. Gerakan ini
menuntut pengakuan identitas besar atas keberadaan identitas kecil. Keberagaman
identitas yang ada, secara hakiki, dimaknai sebagai sebuah kesederajatan identitas
yang tidak mengenal adanya dominasi identitas. Politik identitas lahir sebagai gugatan
fundamental identitas minor terhadap perlakuan diskriminatif identitas besar. Politik
ini tampil sebagai kesadaran eksistensial sekaligus sebagai manifestasi emansipasi
yang mendorong terciptanya kehidupan plural yang demokratis. Politik identitas merupakan
politik pengakuan yang menuntut adanya jaminan mutlak terhadap hak-hak fundamental
identitas kecil. Politik pengakuan ini oleh Husserl disebut sebagai jalan kembali
(back to ).
Rekognisi desa dapat dimaknai dalam
kerangka perspektif politik identitas multikulturalisme. Pertama, imposisi
negara terhadap desa dengan model tata negara telah menampilkan wujud negara
sebagai mesin penggilas desa. Mesin ini bekerja dalam kerangka empat model imposisi
yakni modernisasi, korporatisasi, teknokrasi dan birokratisasi. Dalam kerangka
empat model imposisi itu, negara sukses menaruh desa sebagai identitas kecil
yang mudah diperas. Sutoro Eko, misalnya, dalam studinya mengenai pola hubungan
negara dengan desa menemukan adanya lima model hubungan negara dengan desa. Tiga dari kelima pola hubungan
itu berciri negatif dengan menempatkan desa sebagai objek negara. Ketiga pola
hubungan itu ialah birokratisasi-korporatisasi, hubungan dan strategi politisasi
dan hubungan patronase ekonomi politik. Imposisi negara menguat dalam ketiga
pola hubungan tersebut sehingga menelurkan desa minor. Muncul model relasi korporatisasi
politisasi. Negara tidak merepresentasi dan menegosiasi desa dari bawah ke atas
(bottom up). Keadaan ini mengakibatkan gagalnya daya emansipasi desa
yang ditandai oleh matinya civil society.
Kedua, perencanaan desa. Perencanaan
desa dapat menjadi instrumen ukur untuk melihat sejauh manakah negara mengakui
desa. Kenyataan selama ini, terutama sebelum lahirnya UU Desa Nomor 6 Tahun
2014, negara terus menegasi desa dengan menelurkan kebijakan-kebijakan
pembangunan yang tidak partisipatoris. Desa ditempatkan sebagai objek
pembangunan negara yang didekati dengan pembangunan non village self
planning. Perencanaan pembangunan yang dibuat negara tidak memperhatikan
hakekat dan sifat otonomi desa yakni rekognisi dan subsidiaritas. Perencanaan
pembangunan tidak muncul dari kesadaran akan sifat otonomi desa yakni otonomi
dari dalam, otonomi dari bawah, dan hanya sedikit otonomi dari atas. Dengan
demikian, perencanaan pembangunan bersifat state centris. Corak
emansipasi lokal dalam perencanaan desa menjadi kerdil. Pembangunan-pembangunan
yang ada mengingkari keberadaan desa. Perencanaan demikian membuat negara muncul
sebagai identitas besar yang mengingkari desa. Model ini sekaligus menjadikan
desa sebagai identitas minor yang kehilangan daya emansipasi lokalnya sekaligus
mempertegas adanya simulasi desa. Akibatnya, desa menjadi kehilangan manfaatnya.
Ketiga, desa korporatis. Studi Sutoro
Eko tentang perubahan politik pemerintah desa menyimpulkan bahwa selama ini
desa menjadi arena kontestasi pengaruh antara adat, pemerintah, jaringan kekerabatan,
agama, dan organisasi masyarakat sipil. Desa korporatis merupakan manifestasi
dari pengaruh pemerintah (negara) terhadap desa dalam konteks kontestasi
tersebut. Desa korporatis akan menelurkan model desa administratif. Desa hanya
merupakan kepanjangan tangan negara yang melulu berurusan dengan kewajibannya
menjalankan aturan dan petunjuk dari atas. Model korporatis ini membuat desa
belum mampu tumbuh sebagai institusi publik yang sempurna. Dengan demikian, desa
korporatis hanya memposisikan desa sebagai "pembantu" negara di level
paling bawah. Dalam model korporatis ini, desa sulit menjadi desa mandiri sebab
diperlakukan sebagai identitas kecil yang harus "tunduk" kepada
identitas besar yakni negara.
Membela desa merupakan keharusan. Mengapa?
Posisi desa sebagai identitas kecil telah menyimpang dari yang seharusnya. Desa
dikuasai negara tanpa memperhatikan cara-cara desa yang telah lama hidup. Negara
mengintervensi desa dengan menjadikannya sebagai sasaran pembangunan semata.
Desa tidak diakui oleh negara sebagai "negara kecil" yang memliki hak
asal-usul. Selama ini, negara mendekati desa dengan model imposisi yang kental dengan
state centris. Akibatnya, identitas desa terabaikan. Desa tidak lagi hidup
dengan otentisitas dirinya tetapi, berada dalam kerangka simulasi korporatis yang
dikonstruksi negara secara paksa. Negara muncul sebagai identitas besar yang
gagal paham. Negara memaksakan kehendak sentralistiknya kepada desa dan
memperlakukan desa sebagai bagian dari skenario komodifikasi. Perilaku negara
terhadap desa sarat simbol yang kental dengan pendekatan top down. Emansipasi
desa redup dan desa hidup di dalam penjara negara. Mengutip Purwo Santoso, negara
tidak memperlakukan desa dalam gagasan saling merangkul (mutual inclusion).
Sebaliknya, kondisi minor desa di hadapan negara terjadi dalam gagasan
mengingkari.
Rekognisi merupakan jalan "politik
identitas" desa. Melalui rekognisi, desa meminta pengakuan negara terhadap
identitasnya. Skenario imposisi yang dilancarkan negara dapat dilihat sebagai
cara negara membangun pola relasi mayor minor antara negara dengan desa. Rekognisi
merupakan "politik identitas" desa sekaligus jalan kembali negara
untuk mengakui desa dan memulihkan hubungan mayor minor itu. Sebagai jalan
kembali negara, rekognisi merupakan manifestasi pengakuan negara terhadap
otentisitas desa. Negara kembali ke desa sebagaimana desa "apa adanya"
bukan sebagaimana desa menurut negara. Di sinilah tepatnya kita membela desa.
Membela desa berarti membebaskan desa dari kesalahan kategoris negara agar terwujudlah
desa otentik. Kesalahan kategoris negara, salah satunya, dapat dilacak lewat
paradigma Indonesia Membangun Desa (IMD). Lewat paradigma IMD, Negara menegasi desa
dengan tiga pola pembangunan yakni pembangunan yang digerakkan oleh negara,
pembangunan yang digerakkan oleh pasar dan pembangunan yang digerakkan oleh
masyarakat desa. Ketiga pola pembangunan versi IMD itu ternyata melemahkan desa
dan membuat desa menjadi tidak bermanfaat.
Membela desa berarti kembali ke desa yakni
negara melihat desa sebagaimana desa menurut identitas aslinya tanpa
modernisasi, korporatisasi, teknokrasi, dan birokratisasi yang eksklusif-destruktif.
Rekognisi menuntut adanya penghapusan praktik-praktik simulasi desa yang dilakukan
negara selama ini. Terjadi evolusi kesadaran lewat perubahan paradigma. Melalui
rekognisi, paradigma IMD yang destruktif diubah dengan paradigma Desa Membangun
Indonesia (DMI). Dengan paradigma DMI, desa diperkuat sehingga mampu menjadi
desa transformatif (menjadi basis kehidupan dan penghidupan). Dengan itu, desa dapat
menjadi lebih bertenaga secara sosial, berdaulat secara politik, berdaya secara
ekonomi dan bermartabat secara budaya (desa bermanfaat). Inilah rekognisi
sebagai politik identitas desa dan jalan kembali membela desa.
Menuju
Desa Mandiri
Rekognisi desa di atas, sejatinya, telah
membuka jalan menuju desa mandiri. Konsep desa mandiri diambil dari kerangka preskriptif
yang dikemukakan oleh Sutoro Eko yakni bertenaga secara sosial, berdaulat
secara politik, berdaya secara ekonomi dan bermartabat secara budaya. Dengan
demikian, desa mandiri meliputi empat bidang pokok yakni sosial, politik,
ekonomi dan budaya. Pertama, bertenaga secara sosial. Ini berkaitan dengan
modal sosial. Bertenaga secara sosial berarti desa mampu membangun atau melestarikan
modal sosialnya agar dapat menjadi pijakan yang kuat kokoh bagi terwujudnya
pembangunan dan demokrasi desa. Modal sosial desa akan menumbuhkembangkan tradisi
kewargaan di tingkat desa. Hubungan-hubungan horizontal seperti kepercayaan,
toleransi, kerjasama dan solidaritas akan membentuk sebuah komunitas sipil (civil
community) yang kuat di desa (desa sipil). Selain modal sosial, bertenaga
secara sosial berkaitan pula dengan aspek layanan sosial dasar yang efektif
dari pemerintah desa kepada masyarakat desa.
Kedua, berdaulat secara politik.
Kondisi ini ditandai oleh adanya demokratisasi desa. Desa menjadi basis
demokrasi, partisipasi dan representasi warga. Ciri kuat yang menandai ini
ialah munculnya organisasi masyarakat sipil yang memiliki daya. Daya yang
dimaksud ialah mampu melampaui lembaga-lembaga kemasyarakatan korporatis, menjadi
arena politik warga untuk memperjuangkan hak-hak dan kepentingan warga dan
sanggup melakukan kontrol terhadap institusi desa. Dengan demikian, daya ini dapat
menghidupkan civil society desa. Ketiga, berdaya secara ekonomi. Secara
ekonomi, desa mampu menyediakan sumber-sumber ekonomi. Sumber-sumber ini digerakkan
secara mandiri kolektif oleh desa sehingga mampu mewujudkan kesejahteraan masyarakat
desa. Kemandirian-kolektifitas ini dapat memangkas akses ekonomi negara yang sering
menempatkan desa sebagai objek eksploitasi residu. Keempat, bermartabat secara
budaya. Ditandai oleh hidupnya nilai-nilai kearifan lokal sebagai landasan kehidupan
bersama. Jadi, menuju desa mandiri berarti memperkuat modal sosial dan mengefektifkan
layanan sosial dasar desa, mampu menjadi basis demokrasi yang sejati, menggerakkan
sumber-sumber ekonomi desa secara mandiri dan kolektif, dan sanggup menghidupi
nilai-nilai kearifan lokal desa. Rekognisi, sejatinya, telah memungkinkan semua
ini bisa terwujud. Membela desa, menyelamatkan Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar